Pengkhianatan Rabiatun telah membakar ubun-ubunnya. Badri tak terima. Ia
merasa seakan dipermainkan. Cintanya dipermainkan. Hatinya diaduk-aduk. Harga
dirinya sebagai lelaki seakan dikencingi.
Badri tak pernah menduga kalau Rabiatun mengkhianatinya. Ia memiliki dan
kemudian memendam rasa pada Rabiatun sejak masih kanak-kanak. Disimpannya rasa
itu rapat-rapat. Tak seorang pun yang tahu, termasuk Rabiatun, sampai dirinya
mengatakan langsung pada gadis pujaannya itu.
Badri membentang lembaran panjang. Ia sadar, Rabiatun tak pernah sepatah kata pun membalas
ucapannya. Tak juga pernah mengangguk, namun perubahan sikap Rabiatun yang
semakin manis, kian manja kepadanya, sudah cukup baginya sebagai pesan balasan
dari gadis itu.
Badri sejak lama sudah menyukai Rabiatun. Ia sudah menyukai cewek itu sejak masih sama-sama bersekolah di SD yang sama. Ketika terjadi perubahan sikap dan kesehariannya saat menginjak remaja, Badri tak merasakan. Ia tetap melihat sosok mendekati sempurna yang dimiliki Rabiatun. Perubahan itu tak disadari Badri. Ia cinta mati.
Cinta mati itu pula yang memaksa Badri mengamati dan mengawasi gerak-gerik, Rabiatun. Sekali pun sudah lama diincar,
namun keduanya selalu mencuri-curi kesempatan untuk bertemu dan bicara. Badri sangat takut dengan aturan yang ada di
kampungnya. Tapi respon dari Rabiatun itu sudah memberikan angin dalam dirinya,
ia tak bertepuk sebelah tangan. Ungkapan cintanya telah berbalas.
Norma sosial yang dilandasi nilai-nilai agama masih sangat kental. Tak akan
pernah ditemukan sepasang insan yang bukan muhrim berada di suatu tempat, atau
bicara berduaan. Apa pun alasannya, apa pun kondisinya, jika ada yang melihat
dan mengadukan kepada warga atau tetua adat, dapat dipastikan mereka akan
diberikan sanksi tanpa diberi kesempatan untuk membela diri.
Hukuman terberat yang dirasakan masyarakat, bukan hukuman dalam bentuk
material, tetapi sanksi sosialnya. Pasangan yang diadukan diminta berdiri di
halaman balai adat, kemudian dicambuk di depan umum. Ayunan cambuknya tidak
keras, tidak meninggalkan bekas sedikit pun, namun rasa malulah yang akan
tersisa di sepanjang perjalanan hidup mereka. Rasa itu lebih sakit dari cambuk.
Bekasnya ada sepanjang masa.
Cerita mande pada Badri, ketika ia
masih remaja, sebelum dirinya menikah, ada temannya yang mendapatkan hukuman
cambuk. Ia diketahui berada di hutan
bersama seorang lelaki yang bukan muhrimnya.
Pengakuan teman mande tersebut, pertemuan itu hanya kebetulan saja.
Ia pulang mengambil dedaunan untuk obat panas adiknya, lalu bertemu seorang
lelaki yang tak dikenal. Lelaki itu tersesat. Ia kemudian memberi petunjuk
jalan keluar dari hutan. Ketika mereka berduaan itu, sekelompok penduduk yang
pulang berburu memergoki mereka. Keduanya diarak ke balai adat. Tak ada
kesempatan membela diri yang diberikan kepada mereka. Keduanya harus menjalani
hukuman.
Ia tak kuat menjalani kehidupan. Dirinya merasa dihakimi tanpa diberi
kesempatan untuk menjelaskan. Selepas hukuman tersebut, ia sering bermenung,
lalu tersenyum sendiri, kemudian ia ketawa sendiri, hingga akhirnya terpaksa
dipasung oleh keluarganya. Ia kemudian ditemukan meninggal dalam pasungan.
Setelah remaja, Rabiatun tidaklah terlalu istimewa. Biasa-biasa saja. Ia juga bukan bungo nagari[1].
Kecantikannya belumlah seberapa jika dibandingkan Syarifah, atau Marhamah.
Apalagi jika dibandingkan dengan Fatimah, bungo nagari.
Perubahan seiring perjalanan waktu sangat kentara, tapi Badri seakan tak menyadari. Pertumbuhan
dan perkembangan gadis-gadis di nagarinya bergerak cepat. Rabiatun memang
menonjol, namun ia dinilai orang kampung sebagai artis kehilangan pentas. Ia
bukanlah artis, namun seringkali dandanan dan penampilan sedikit berlebih bila
dibandingkan kawan-kawan sebayanya.
Fatimah, Syarifah, Marhamah dan belasan gadis sebaya mereka, masih tampil
dengan kesederhanaan, masih alami. Mereka masih sedap dipandang, bagaikan bayi
dalam gendongan. Berbeda jika dibandingkan dengan Rabiatun. Badri tak merasakan
perbedaan itu, ia justru melihat kalau gadis incarannya itu paling sempurna.
Jika di pos ronda atau lapau ada yang membicarakan perihal anak gadis di
nagari, tak sekali pun sindiran tentang penampilan Rabiatun yang menyangkut
dalam hati mau pun pikiran Badri. Ia seakan tak merasa kalau kritik itu
ditujukan orang banyak kepada Rabiatun. Badri merasakan, apa yang diungkapkan
orang-orang tersebut hanyalah sebuah keiirian belaka.
Tradisi di kampung Badri memang begitu. Jika memberikan apresiasi atau
memuji seseorang, maka orang yang memberikan apresiasi atau memuji
diperkenankan menyebutkan secara detail
sosok yang dimaksud. Hal tersebut dimaksudkan agar mereka yang belum tahu, agar
mereka yang tak mengenal, bisa menjadi tahu secara lebih jelas, terang dan
pasti. Bagaimana pun, orang yang dimaksud tentu punya kelebihan sendiri. Jika tidak,
tak mungkin mereka diapresiasi.
Berbeda jika memberikan penilaian buruk atau negatif pada seseorang. Jika
penilaian buruk hendak disampaikan juga ke umum, maka mereka yang hendak
menyampaikan harus pintar-pintar. Harus jago mencari kalimat yang tepat, harus
mampu memberikan ilustrasi yang jelas, namun tidak dibenarkan menunjuk hidung
langsung kepada sosok yang dimaksud.
Berpantang bagi orang-orang di kampungnya untuk membeberkan penilaian buruk
terhadap seseorang. Penilaian buruk adalah sebuah aib, maka aib harus ditutup.
Jika harus juga dibeberkan, maka wajib mencarikan kata, kalimat atau analogi
yang tepat untuk disampaikan. Jika hal ini diabaikan, justru mereka yang
menyampaikan persoalan secara telanjang tersebut yang akan dikucilkan
masyarakat.
Bagi mereka yang piawai, kritikan dan gambaran buruk seseorang yang
disampaikan dalam bentuk bertutur, memainkan analogi dengan pilihan
kalimat-kalimat yang biasa, justru bisa dikeluarkan di hadapan orang dimaksud. Penyampaian tersebut langsung
mengena. Orang yang dimaksud tak akan marah sebab tak ada yang tahu. Mereka pun
biasanya tidak menanggapi secara vulgar. Jika ditanggapi secara vulgar, takut
terditeksi oleh orang lain.
Badri pun demikian. Ia tak menanggapi secara vulgar. Ia yakin, sejak masih
tergila-gila pada Rabiatun, diyakininya belum seorang pun yang tahu. Ia masih
menyimpan rapat-rapat tentang perasaannya. Ia tak mau membeberkan kepada siapa
pun. Baginya, isi hati dan perasaan adalah milik pribadi. Hak privasi. Tak
seorang pun yang boleh tahu. Kalau pun ia
harus memberikan kepada orang lain, tentu karena satu hal saja; sudah saatnya
diketahui orang lain! Perasaannya itu baru dibeberkannya kepada Mak Pado, dukun
kampung yang bersemayam di pinggang gunung berapi di nagari subarang.
Badri menerawang panjang. Ia harus membuat perhitungan. Ia mulai kalap.
Gadis kampung yang telah memenjara hati dan
perasaannya harus segera ditaklukkan. Ia tak mau berlama-lama memendam rasa.
Jika Rabiatun benar-benar lepas dari genggamannya, maka ia akan menanggung
rindu sampai mati. Tak ubahnya seperti memandang ikan di lautan. Ikannya
kelihatan, namun tak bisa ditangkap
dengan tangan. Atau, seperti melihat telur emas di kandang ular. Ia tahu kalau
telur itu sangat berharga, namun dijaga ketat ular berbisa.
No comments:
Post a Comment