Berkunjung ke Museum Nike Ardilla si Bintang Kehidupan
Tiga
kali panggilan, tak ada sahutan. Ketika panggilan ke empat, tak juga ada
sahutan, namun dari arah kamar kecil di teras, ada suara air yang sangat deras.
Suara siraman air itu seakan menjadi pertanda, ada orang di dalamnya.
“Sudah
tutup,” jawab seorang lelaki yang keluar dari kamar kecil di teras. Ia kemudian
duduk di kursi, memasang kaos kaki dan
sepatu yang biasa digunakan petugas keamanan.
“Ditutup
pukul lima sore tadi,” katanya melanjutkan.
Tanpa melihat jam pun, aku tahu kalau kehadiran ke museum sudah terlambat dari jadwal kunjungan. Terlambat lebih dari satu jam.
Tanpa melihat jam pun, aku tahu kalau kehadiran ke museum sudah terlambat dari jadwal kunjungan. Terlambat lebih dari satu jam.
Aku termangu. Bayangan kegagalan untuk berkunjung ke museum melintas dalam pikiran, “tapi cobalah langsung ke ruangan samping, sampaikan saja niatnya,” kata lelaki itu lagi.
Aku kemudian mengangguk, lalu mengucapkan terima
kasih. Lelaki itu pamit, “saya harus ke depan
dulu,” katanya sembari menunjuk pos jaga di gerbang komplek, ia pun hilang dari pandanganku persis di balik sebuah
jeep putih yang dipajang di teras museum. Kendaraan tersebut salah satu mobil
kesayangan Nike Ardilla.
“Sudah
tutup, kang,” jawab seorang perempuan muda menyambut kehadiranku di bangunan
samping yang disebutkan petugas jaga komplek.
Belum
sempat melanjutkan, ia menanyakan perihalku.
Ketika
disebutkan dari Padang, ia
kemudian justru terdiam. Tanpa bicara, ia kemudian mengambil sesuatu di dinding
tak jauh dari tempatnya berdiri.
“Mari,
Kang. Ikuti saya,” katanya.
Di tangannya ada kunci yang diambil di
dinding. Aku pun
mengikuti langkahnya. Kami kembali ke arah tempat saya bertemu petugas jaga
komplek.
Persis
di tengah bangunan, terpajang gambar seorang gadis cantik. Artis yang sangat
populer di tahun 1990-an. Gambar gadis cantik itu dibingkai dalam kaca putih
dan memancarkan sinaran dari listrik. Di atas gambar itu tertera jelas namanya;
Nike Ardilla.
Di
kiri dan kanan gambar itu, ada tangga menuju lantai dua. Perempuan yang
memegang kunci itu memilih tangga di bagian kiri, aku mengikuti. Sambil
melangkah, perempuan itu menanyakan hal-hal kecil tentang keadaan. Aku menjawab apa adanya.
Setelah
pintu lantai dua dibuka, ia menghidupkan lampu ruangan, kemudian menghidupkan
musik, terdengar lantunan lagu terakhir dari Nike Ardillla, yang punya nama
asli Raden Rara Nike Ratnadilla Kusnadi.
Mama
Aku
ingin pulang
kurindu
kepadamu
Dulu tak mendengar nasehatmu
Mama maafkan anakmu
Mama oh mama
Aku ingin pulang
Kurindu kepadamu
Dia yang kucinta telah berdusta
Kini tinggalkan diriku
Hidupku kini tiada arti
Bagaikan burung di dalam sangkarnya
Kuingin bebas dari derita
Mama tolonglah diriku
Dari belenggu cintannya...
Aku tertegun. Ada rasa menjalar dalam diri. Secepatnya
aku mengendalikan diri. Aku tak ingin larut dalam kenangan. Aku tak ingin hanyut.
Alunan nada yang lembut, mendayu-dayu, disekelilingnya terpampang potret dan
poster besar pemilik suara tersebut, menambah suasana semakin syahdu.
Aku menerawang, mengingat masa lalu. Masih segar dalam
ingatan, aku memiliki album Mama Aku
Ingin Pulang. Album tersebut diluncurkan pada 1995, beberapa bulan setelah
Nike Ardilla meninggal dunia. Hanya Mama
Aku Ingin Pulang lagu terbaru yang ada di dalamnya, sisanya diisi lagu-lagu yang pernah hits sebelumnya.
Di album vcd-nya, Mama
Aku Ingin Pulang terasa sangat berbeda dibandingkan lagu lain. Jika
lagu-lagu lain menggunakan format lagu dan klip sesuai aslinya dulu, namun lagu
Mama Aku Ingin Pulang tak menggunakan
klip yang seharusnya. Klip pada lagu tersebut hanya “menggunakan”
penggalan-penggalan gambar dan klip lain tanpa disertai suara langsung
penyanyinya.
Lagu lain dalam album tersebut, Mengapa Harus Berpisah, Cerita Lama, Biarlah, Jangan Diulang, Kehadiranmu, Garis Nasib, Warna Cinta Kita, Jangan Lari Dari Kenyataan, Ku Terima Cintamu.
Ruangan di lantai dua, sangat luas. Di sekeliling
ruangan dipajang foto-foto dan barang-barang berharga dan penuh kenangan milik
Nike Ardilla. Foto-foto dalam ukuran besar itu bersanding dengan poster-poster
besar Marilyn Monroe. Gambar yang paling menarik perhatian adalah lukisan
lukisan Nike Ardilla dengan pose yang sama dengan Marilyn Monroe, artis idolanya.
Belakangan aku mengetahui, perempuan yang mendampingi
tersebut bernama Dewi, salah seorang relawan
dari Nike Ardilla Fans Club (NAFC), asal
Bandung. Aku memanggilnya teh Dewi. Teh
Dewi menjelaskan sangat detail tentang
barang-barang yang dipajang. Ada di antaranya konstum pertama kali Nike Ardilla
konser, hingga baju terakhir yang ia gunakan di dunia
keartisannya. Baju dimaksud digunakan saat shoting
film Warisan.
Kostum
itu berupa kaos dan rok berwarna merah. Juga ada foto Nike Ardilla mengenakan
kostum tersebut. Di foto, terlihat raut wajah letih Nike Ardilla. Foto itu
digantung persis di dinding dekat pintu masuk kamarnya.
Aku diajak masuk teh
Dewi ke kamar mendiang Nike Ardilla, namun tidak masuk dari pintu yang masih
ada goresan tangan Nike Ardilla yang menyatakan bahwa itu kamarnya. Di pintu
kamar itu tertulis; Ini Kamar Gue, Euy..! Kemudian ada tanda-tangan dan
namanya.
Kamar
Nike Ardilla terlihat luas dan sederhana. Tempat tidurnya hanya berupa kasur
yang diletakkan di lantai beralas karpet. Di sebelah kasur ada televisi dan speaker aktif. Ada
sebuah lemari pakaian. Sebuah meja rias, di meja itu ada sajadah dan mukena. Di
salah satu sudut kamarnya ada meja kecil, di sana tersusun rapi sejumlah piala
dan penghargaan yang menunjukkan prestasinya.
Dari
kamarnya ada tiga pintu. Satu pintu utama, tempat biasa ia keluar masuk
kamarnya. Satu lagi pintu untuk menatap keluar kamar, biasanya jika ia keluar
kamar dari pintu tersebut untuk menghirup udara segar, atau hanya sekedar
menenangkan diri sendirian. Satu pintu lagi untuk menuju kamar mamanya. Aku dan teh Dewi masuk dari pintu terakhir.
Di kamar itu, aku tertegun. Tak pernah sekali pun
membayangkan akan berada di kamar tidur sang idola yang sangat populer
dimasanya hingga kini. Pikiranku pun menerawang jauh ke belakang.
Ketika itu, jelang akhir 1990, saat Bintang Kehidupan sedang meledak di pasaran. Nike Ardilla tampil di
sebuah pentas di Padang. Aku lupa entah pentas apa. Aku yang saat itu menjadi
anggota Kawula Muda Arbes Fans Club (KMA FC), wadah berhimpunnya fans radio
Arbes di Jalan Permindo (kini, kantor Arbes FM di Jalan Ratulangi), Padang,
bertemu Nike Ardilla tanpa sengaja.
Saat itu, aku baru saja sampai di radio Arbes. Tak lama
berselang, masuk seorang gadis manis, berkostum kaos putih oblong, bercelana
levis biru selutut. Aku yang saat itu masih anggota baru, sempat menduga kalau
gadis manis yang baru masuk tersebut juga fans Arbes. Aku sempat menjawab salam
dan menyambut uluran tangannya. Tak lama setelah bersalaman, aku baru sadar
bahwa yang baru masuk tersebut bukan fans, tapi justru artis yang
ditunggu-tunggu kru Arbes saat itu.
Tutur sapanya lembut. Ia menyapa semua yang ada di studio
tersebut dan kemudian berdialog lepas di ruangan rapat, setelah ia dialog
interaktif secara langsung dengan pendengar radio tersebut.
Teh Dewi menceritakan, hampir setiap hari ada kunjungan
fans Nike Ardilla ke museumnya. Kunjungan semakin ramai saat jadwal libur. Pengunjungnya
beragam usia. Tak hanya orang dewasa, usia di atas 40-an tahun, seiring usia
dengan Nike Ardilla yang kelahiran 27 Desember 1975 atau generasi di atasnya.
Fans-fans Nike Ardilla justru ada yang usianya jauh di
bawah Nike Ardilla, atau lahir justru setelah sang idola meninggal dunia,
akibat kecelakaan tunggal di Bandung, 19 Maret 1995. Tak sedikit fans usia SMA dan SMP yang
datang dan mengidolakan teh Keukeu, sapaan akrab Nike Ardilla.
Kehadiran fans, pengagum dan pecintanya, semakin
membludak pada dua peristiwa penting dalam kehidupan anak dari pasangan Raden
Eddy Kusnadi dan Nining Ningsihrat.
Dua peristiwa penting itu, bertepatan tanggal kelahirannya dan tanggal
wafatnya, ratusan bahkan ribuan fans berlaturrahmi ke kediaman orang tuanya,
berkumpul di museumnya di Jalan Soekarno-Hatta, Bandung, berziarah di makamnya, di kompleks pemakaman
keluarga di desa Imbanegara, Ciamis,
Jawa Barat.
Mereka yang datang berasal dari berbagai kota dan dari berbagai lapisan usia.
Fenomena Nike,
Si Bintang Kehidupan, sesuai dengan
judul album keduanya, setelah Seberkas
Sinar, hingga kini, sekali pun wafat
22 tahun silam, tetap populer. Fansnya terus bertambah. Museumnya terus
didatangi. Peziarah masih sering ke makamnya. Selain Mama Aku Ingin Pulang diluncurkan setelah kepergiakannya, juga
diluncurkan album Nyalakan Api. Walau
album Nyalakan
Api hampir
sama dengan materi yang pada
album Bintang Kehidupan, namun penjualannya tetap luar biasa, terjual 1,7 juta keping, sedangkan Bintang Kehidupan yang diluncurkan akhir
1989, terjual hingga 2 juta keping. Penjualan album yang fantastis untuk masa
tersebut, juga hingga sekarang. *
No comments:
Post a Comment