Badri tersenyum
bangga. Kali ini, ia yakin, usahanya tak akan sia-sia lagi. Dendam yang membakar ubun-ubun akan terbalaskan dengan
cinta yang bersemayam dalam dirinya. Dalam dendamnya ada cinta. Cintanya
beruntai dendam.
Cinta di dalam jiwanya adalah cinta mati. Tak bisa ditawar lagi. Cinta yang
tumbuh sejak pagi, sejak matahari menampakkan diri. Bergelora sepanjang hari.
Tak akan pernah mati. Ia sudah memendam rasa pada Rabiatun sejak lama. Sejak
ingus masih meleleh dari hidungnya, kemudian disapu dengan lengan kanan dari
kiri hidungnya ke arah samping kanan pipinya.
Ia sangat menyukai Rabiatun. Sangat mengagumi teman kecilnya itu. Teman
semasa mereka masih duduk di bangku sekolah dasar. Bagi Badri, Rabiatun
merupakan cewek paling sempurna. Berkulit kuning langsat, berambut panjang,
hidung mancung, berpenampilan tenang. Kesehariannya berbeda dibandingkan
anak-anak sebayanya.
Disaat teman sebayanya main merdeka, main congklak, melipat boneka kertas, ia hanya menikmati dari kejauhan. Bertemankan buku pelajaran di tangan. Ketika teman-temannya main lompat tali, ia sedang menolong ibunya. Disaat kawan-kawannya kawan-kawannya berkemas ke surau saat azan berkumandang, ia sudah duduk rapi dibalut mukenah usang.
Sejak masih kanak-kanak, Badri memandang sosok Rabiatun sebagai sosok anak
baik, solehah dan paling sempurna jika dibandingkan kawan-kawannya. Tak
mengherankan jika setiap akan tidur, Badri selalu mengingat-ingat apa yang
disaksikannya dari aktivitas Rabiatun siangnya. Jika ia tak bertemu Rabiatun,
maka biasanya Badri mengulang bayangan sehari sebelumnya, atau hari-hari lain.
Ia akan menjemput ulang kisah Rabiatun.
Setiap kejadian itu, selalu dihubungkan dengan dirinya, walau sebenarnya
Badri tidak berani untuk mendekati Rabiatun. Ia selalu merasa mati langkah dan
grogi yang luar biasa jika berdampingan. Itu sebabnya ia membiasakan diri untuk
menghindar, kemudian menatap Rabiatun dari jauh.
Badri tahu benar siapa Rabiatun. Mereka satu sekolahan. Rabiatun setahun di bawah Badri. Lelaki
berpenampilan seadanya itu melihat dan memperhatikan Rabiatun ketika cewek itu
hendak tumbuh. Ketika mulai tampak tanda-tanda
kewanitaannya saat duduk di kelas V. Badri terpesona. Pipinya, senyumnya,
tatapannya, aduhai menggoda.
Rabiatun terlihat ranum dan mekar, mempesona dan bau bunga. Ia terlihat sempurna.
Pikiran Badri melayang-layang,
membayangkan kemolekan dan keindahan penampilan adik kelasnya tersebut. Sejak
saat itu, Rabiatun seakan menjadi sosok yang selalu diawasinya dari jauh.
Setiap ada yang hendak mendekati Rabiatun, ia mencoba menghalangi dengan
caranya sendiri.
Pernah suatu ketika, saat pulang sekolah, Badri memperhatikan gerak Badrun,
teman sekelasnya, agak mencurigakan. Badri melihat langkah Badrun bergerak
gontai. Sangat lambat dari biasanya. Ketika Badri melihat ke belakang, berjarak
separoh lapangan bola, Rabiatun berjalan
bersama Mirna. Ketika tahu langkahnya diperhatikan
Badri, cowok berambut keriting itu mengajak Badri memperlambat langkah,
kemudian berjalan beriringan dengan Rabiatun dan Mirna. Ia mengajak Badri
menggoda Rabiatun.
Badri menangkap, Badrun memulai
menebarkan pancing kepada gadis yang disukainya. Kail itu hendak dilepas
dihadapannya, sementara ia sudah
menebarkan jala sejak lama. Ketika jalanya belum tersentuh, ancaman justru
menghampirinya. Badri merasakan Badrun telah mengancamnya, namun ia ajakan
Badrun.
Ia dapat akal. Dikatakannya pada Badrun, ayah Rabiatun sangat galak. Ia tak
akan menerima jika anak perempuannya diganggu. Ia mudah marah. Badri pun
kemudian mengarang cerita, ia pernah melihat ayah Rabiatun mendatangi rumah
orang yang mengganggu anaknya. Ayah Rabiatun seorang yang jago silat. Badrun tersadak. Saat itu juga
Badrun tak mau melanjutkan rencananya. Ia yakin, Badri pasti serius. Selama ini
Badri dikenalnya sebagai teman yang jujur.
Perihal ayah Rabiatun yang galak, mudah terpancing dan jago silat menurut
versi Badri, menjalar sangat cepat kepada anak-anak sebaya mereka. Sejak saat
itu, nyaris tak ada lelaki yang mendekati apalagi mengganggu Rabiatun. Badri
senang, provokasinya termakan oleh kawan-kawannya, sehingga ia nyaman karena
tak ada yang mendekati Rabiatun.
Awalnya memang ada yang meragukan
perihal kependekaran ayah Rabiatun, sebab kesehariannya biasa saja. Juga tak seorang pun yang pernah
melihat kalau ayah temannya itu berlatih. Tak ada yang tahu dimana sasarannya. Keraguan
itu hanya sesaat, sebab Badri memberikan alasan yang masuk akal. Seorang yang
jago silat, selalu memiliki sikap rendah hati. Jagoan sejati tidak akan pernah
petantang-petenteng.
Rabiatun bingung. Kabar kalau ayahnya jago silat, sampai ke telinganya,
sementara ia tahu kalau ayahnya bukan seorang pandeka. Ia tak pernah tahu kalau
ayahnya pernah berlatih silat. Ketika ia menanyakan, sang ayah justru menjawab sambil tertawa.
”Latihan saja tak pernah, mana mungkin bisa menjadi jagoan,” kata ayah.
Awalnya Rabiatun risih juga, ayahnya tidak seperti cerita yang berkembang
di tengah kawan-kawannya. Belakangan ia merasa beruntung. Sejak kabar ayahnya
jago silat, tak ada yang berani mengganggunya.
Ketika tamat SD, Badri melanjutkan ke SMP Negeri di kampungnya. Setahun
kemudian, saat Rabiatun tamat SD, ia melanjutkan
ke Madrasah Tsanawiyah Swasta di kampung sebelah. Badri tak menduga. Ia pun
kemudian berniat menyusul. Ia pindah sekolah. Tak seorang pun yang tahu alasan
Badri. Banyak yang mengatakan kalau dirinya bodoh, pindah dari sekolah negeri
ke sekolah swasta.
Saat kawan-kawan dan lingkungannya mengejek, orang tuanya justru mendukung.
Mande[1] merupakan orang pertama yang mendukung
keinginannya. Ia meyakinkan mande, sekolah barunya merupakan tempat terbaik
untuk bekal hidup dikemudian hari.
Keinginan Badri awalnya ditolak ayahnya. Kata ayah, semua sekolah sama
saja. Soal bekal ilmu agama tak hanya di bangku tsanawiyah, tapi bekal mengaji
di surau, mengaji bersama ayah dan di SMP, tak akan jauh bedanya dengan bekal yang didapatkan di tsanawiyah.
”Kamu tahu biaya di sana? Tak akan sanggup ayah membiayainya,” kata ayah.
Badri terus meyakinkan ayahnya. Ayah terus menolak. Katanya, tak perlu
pindah-pindah sekolah. Selesaikan saja di sekolah sekarang. Desakan Badri justru dipandang sebagai
langkah maju oleh mande. Badri mendapat dukungan. Mande ikut mendesak ayah. Akhirnya, lelaki pekerja kasar
itu menyerah.
Ayah dan mande mengantarkan Badri
mendaftar di tsanawiyah. Uang yang dibawa tak cukup untuk biaya masuk. Keduanya meyakinkan akan membayar semua
kewajiban secepatnya. Mereka pun berharap agar pihak sekolah berkenan, apalagi
kepindahan anaknya tersebut karena ingin
mendapatkan pendidikan agama yang lebih baik dibandingkan di sekolah
umum. Pihak sekolah menerima dengan syarat, semua biaya harus diselesaikan
paling lambat dalam kurun waktu tiga bulan.
Ayah harus banting tulang untuk melunasi kekurangan biaya masuk. Ketika
langkahnya terasa berat, ayah pun kemudian memaksa Badri untuk ikut bekerja
bersamanya separuh hari. Ketika Badri sekolah pagi, maka sepulang sekolah ia
harus mampir ke tempat ayah bekerja. Jika ia sekolah siang, maka paginya harus
bekerja terlebih dahulu.
Badri mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakan. Tangannya ringan menolong
orang kampung. Apa pun yang diberikan orang kampung sebagai ucapan terima kasih
atas bantuannya, diterima Badri dengan lapang dada. Ada yang memberikan beras,
gula, ubi, petai, jengkol, semangka dan hasil ladang lainnya, diterimanya
dengan senang hati.
Badri tak merasakan kesulitan. Ayah
dan mande senang melihat ia lebih bersemangat sekolah dan bekerja. Semangatnya
menyala-nyala. Keduanya sangat gembira. Keduanya beranggapan Badri adalah sosok
anak yang bisa dibanggakan. Mau masuk sekolah agama. Ada perubahan nyata dalam
hidupnya.
Tanpa sepengetahuan orang tuanya, keseharian Badri justru jauh dari
bayangan orang tuanya. Ia tak seperti yang dibayangkan. Tak seperti yang
diharapkan. Kehadirannya di sekolah baru bukan karena perubahan cara berpikir,
tetapi tak lebih untuk bisa setiap hari memperhatikan Rabiatun, bintang segala
bintang yang pernah ditatapnya. Bintang yang tak pernah redup di matanya.
Ketika Badri menyelesaikan pendidikan di tsanawiyah, Rabiatun baru naik ke
kelas III. Badri bingung. Ia tak tahu harus kemana. Ia tak tahu, apakah setelah tamat tsanawiyah, Rabiatun akan
meneruskan pendidikan ke Madrasah Aliyah atau ke SMA di ibukota kecamatan?
Ayah memaksanya melanjutkan ke Madrasah Aliyah, Badri tak bisa berbuat
banyak. Ia tak mau rahasianya terbongkar. Ayah dan mande memandang dirinya
sebagai anak baik. Ketika Rabiatun tak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi, semangat Badri pun tak
lagi mengebu-gebu, seperti saat ia meminta pindah dan kemudian masuk ke
tsanawiyah.
Madrasah Aliyah diselesai Badri sebelum datang masanya. Tiga kali
peringatan tak cukup menyadarkannya. Tiga kali ayah ke sekolah tak cukup
membuatnya insyaf. Panggilan ke empat, ayah tak datang. Ayah malu. Sejak saat
itu pula, Badri diberhentikan. Ia tak cukup hitungan jari masuk dalam tiga
bulan terakhir. Hari-harinya dihabiskan untuk mengintai dan menarik perhatian
Rabiatun.
No comments:
Post a Comment