Sepekan terakhir, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Padang, benar-benar memperlihatkan taringnya sebagai penegak Perda. Setidaknya, menyegel restoran dan rumah makan yang menunggak pajak serta menggerebak penginapan, hotel dan wisma, adalah bagian dari kerja nyata yang dilakukan.
Khusus kerja kedua, menggerebak penginapan, hotel dan wisma, tim ini menemukan belasan insan di dalam sejumlah kamar. Mereka bukan pasangan halalnya. Ada juga yang ditemukan tanpa busana lengkap.
Penggerebekan tersebut, sebenarnya bukanlah hal baru. Biasanya, setiap penggerebekan, selalu saja ditemukan pasangan mesum disejumlah penginapan. Kecuali kalau informasi razia sudah bocor sebelum tim bergerak ke lapangan.
Hanya saja, belakangan, setidaknya lima atau sepuluh tahun terakhir, kondisinya berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dulu, biasanya pasangan yang ditemukan di penginapan adalah pasangan yang sedang kasmaran, mungkin dengan pacar atau selingkuhan, atau pasangan yang didapatkan ditempat-tempat tertentu, ada kalanya juga dipinggiran jalan, kini ditambah melalui transaksi yang ditawarkan melalui aplikasi di media sosial.
Saat dilakukan pemeriksaan, petugas bahkan menemukan adanya transaksi melalui media sosial di dalam HP salah seorang wanita yang diamankan. Di dalamnya ditemukan transaksi penawaran sebesar Rp 700 ribu. Tiga di antara wanita itu masih di bawah umur.
Ditemukannya anak-anak di bawah umur yang dapat dipesan tersebut, juga bukan hal yang baru. Sebelumnya juga pernah terjaring. Namun, kondisi ini seakan terus berulang setiap kali ada penggerebekan.
Sebuah pertanyaan muncul; haruskah Satpol PP Padang hanya bertindak sebagai “pemadam kebakaran” saja? Bergerak, menggerebekan pasangan mesum saja? Tindak lanjut dari penggerebekan, biasanya, lebih cenderung membuat surat pernyataan. Kalau pasangan bukan muhrim (pacaran, atau selingkuh), dijemput pihak keluarga. Kalau prostitusinya, bagaimana?
Kalau pun pernah berlanjut ke persidangan, sejauh ini, yang terpublikasikan atau diketahui publik, mungkin baru kasus prostitusi yang diungkapkan anggota DPR-RI Andre Rosiade, pada Januari 2020.
Terhadap hal ini, rasanya perlu tindakan atau langkah lebih konkrit. Jika misalnya, langkah lebih konkritnya belum tercover pada Perda, bukankah direvisi atau dibuat yang baru dan sebagainya? Misalnya, jika misalnya sanksi yang diberikan tidak mampu menyentuh penginapan, apakah tidak mungkin bisa direvisi atau dibuat aturan baru; penginapan atau pemilik atau pengelola penginapan bisa turut menerima sanksi atau tindakan. Mungkin, izinnya dibekukan, dicabut dan sebagainya. *
Jumat, 24 Juni 2022
No comments:
Post a Comment