Oleh: Firdaus
Nurhayati,
pembalap andalan Sumbar tahun 1980-an, meninggalkan tanah kelahirannya
bersama sang adik, Nuraini. Keduanya mengayuh pedal sepeda untuk
membela Yogjakarta. Kepergian mereka menjadi trending topic ketika itu.
Pada
PON XIII di Jakarta, 1993, Sumbar kehilangan sejumlah lifter yang
semula diharapkan pulang berkalungkan medali. Mereka pindah ke Jawa
Tengah demi ---salah satunya--- segepok bonus. Sekeping emas dihargai
Rp 25 juta. Bonus tertinggi saat itu. Kala itu, setiap kelas di angkat
besi dan angkat berat masih menyediakan tiga set medali.
Tujuh
tahun setelah itu, prestasi olahraga Sumbar benar-benar hancur. Negeri
bermotto Tuah Sakato, terpuruk di peringat pincik. Urutan paling bawah.
Posisi ke 26 dari 26 provinsi, pascakeluarnya Timor Timur dari
Indonesia. Hasil buruk PON 2000 di Surabaya, memaksa pengurus KONI
Sumbar kala itu mundur sebelum habis masa pengabdiannya. Insan olahraga
Sumbar mendesak diadakan Musordalub.
Posisi
Sumbar kemudian membaik pada dua PON berikut. Setelah itu masalah baru
pun muncul. Arena untuk menguji kemampuan atlet-atlet muda melalui Pekan
Olahraga Provinsi (Porprov, sebelumnya bernama Pekan Olahraga Daerah
atau Porda) sempat terkatung-katung. Porprov XI digelar Desember 2010,
setelah lebih dari dua tahun tertunda.
Dilingkupi
persoalan demi persoalan, dua Porprov lainnya setelah Porprov 2010
yang terpaksa disebar di seluruh kabupaten dan kota se Sumbar, kecuali
Mentawai, berhasil diselesaikan dengan baik. Porprov di Limapuluh Kota
tahun 2012, dan di Dharmasraya 2014, digelar dalam suasana persaingan
atlet yang ketat. Hajatan ini memberikan kesempatan berlaga kepada
seluruh atlet muda untuk menguji kemampuan yang didapatkan saat latihan.
Pada
tataran yang lebih tinggi, prestasi di level Nasional sudah ditorehkan.
Dalam segala keterbatasan, pada Porwil di Batam 2011, yang meraih 8
emas, Sumbar bertengger di peringkat ketiga. Peringkat terbaik yang
pernah dicapai pada keikutsertaan Sumbar di Porwil.
Hasil
PON XVIII di Riau, tahun 2012, yang membawa pulang 12 emas dan berada
di peringkat 11, merupakan prestasi spektakuler. Sejumlah catatan
penting didapatkan pada PON tersebut. Sebelum berlaga di arena, Ketua
Umum KONI Sumbar Syahrial Bakhtiar menargetkan membawa pulang 12 emas.
Capaian itu sekaligus untuk pertama kalinya kontingen Sumbar mampu
merealisasikan targetnya sejak pertama kali ikut PON, dimulai pada PON
II tahun 1951. Prestasi itu menyusul keberhasilan mencapai target tiga
besar pada Porwil Batam 2011.
Hasil
raihan 12 medali emas tersebut merupakan torehan medali terbanyak kedua
sejak Sumbar ikut PON. Torehan emas terbanyak dicapai pada PON XI-1985
dengan 19 emas. Dari jumlah itu, 12 medali emas didapatkan dari cabang
angkat berat.
Apalagi
setelah itu? Jelang tutup tahun yang menggembirakan. Kontingen PON
Remaja Sumbar yang berlaga selama dua pekan di Surabaya, Jawa Timur,
pulang dengan prestasi membanggakan. Mereka boleh pulang dengan
membusungkan dada, sebab berada di papan atas perolehan medali akhir.
Sumbar berada di peringkat lima (atau peringkat pertama di luar Jawa)
dan menjadi kontingen terbaik.
Penobatan
sebagai kontingen terbaik karena prestasi Sumbar sangat mengejutkan.
Tak hanya KONI Pusat, tetapi top organisasi olahraga ditingkat pusat
terkejut dengan capaian Sumbar. Capaian itu diluar dugaan otoritas
olahraga Nasional. Pengurus KONI dan top olahraga ditingkat provinsi
Sumbar juga tak kalah kaget.
Berbagai
masalah dihadapi para atlet, pelatih dan pembina selama persiapan
hingga kembali dari laga. Keterbatasan kucuran dana dari pemerintah
daerah, memaksa atlet menahan diri. Pelatih dan pembina menahan hati.
Pentas uji kemampuan atlet belia harus dijalani dengan pontang-panting.
Dukungan dana baru bisa dialokasikan dua bulan jelang laga berlangsung.
Minimnya
pendanaan untuk persiapan dan menghadapi ajang multievent ini karena
tidak signifikannya bantuan pemerintah provinsi Sumbar. Ketika
kebutuhan terus meningkat, ternyata dukungan dana justru turun bebas.
Setelah
PON Remaja di Surabaya dan Porprov di Dharmasraya, agenda besar lainnya
pun menunggu. Ada Porwil, tahun 2015. Setahun kemudian ada PON di Jawa
Barat. Dua agenda ini membutuhkan perhatian besar dari seluruh lapisan,
terutama pemerintah daerah.
Bagaimana
pun juga, pemerintah daerah memiliki tanggungjawab untuk mengelola dan
membiaya aktivitas olahraga prestasi, seperti diatur secara tegas pada
UU RI No. 3 TAHUN 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Di
antaranya; Pengelolaan Olahraga pada Tingkat Provinsi dilakukan oleh
Pemerintah Provinsi dengan dibantu oleh Komite Olahraga Provinsi (Pasal
37.1), Pendanaan keolahragaan menjadi tanggung jawab bersama antara
Pemerintah, Pemda, dan Masyarakat (Pasal 69.1), Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib Mengalokasikan Anggaran Keolahragaan Melalui
APBN dan APBD (Pasal 69.2), Sumber pendanaan keolahragaan ditentukan
berdasarkan prinsip kecukupan dan keberlanjutan (Pasal 70.1), Dana
Keolahragaan yang dialokasikan dari pemerintah dan Pemda dapat diberikan
dalam bentuk hibah (Pasal 71.2).
Berangkat
dari undang-undang tersebut, jelas terlihat bahwa undang-undang sudah
menggariskan secara tegas. Tak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak
membiayai pembinaan dan pelaksanaan olahraga.
Dukungan
dana sebesar Rp 5 Miliar yang konon akan diputuskan DPRD Sumbar untuk
membiayai aktivitas olahraga Sumbar tahun 2015, sangat tidak sebanding
dengan kebutuhan. Ada tiga agenda besar yang harus dijalani, yakni
pembinaan 40 cabang olahraga (cabor) untuk menghadapi Porwil, dan
Kejurnas Pra PON. Selain itu kegiatan untuk mengikuti Porwil dan
Kejurnas Pra PON.
Item
kebutuhannya tak jauh berbeda dengan tahun 2011. Komponen kegiatannya
sama, yakni pembinaan 40 cabang olahraga (cabor) untuk menghadapi
Porwil, dan Kejurnas Pra PON, kemudian kegiatan untuk mengikuti Porwil
dan Kejurnas Pra PON. Bedanya, ketika itu dialokasikan Rp 23 miliar
lebih, tahun depan hanya Rp 5 miliar.
Jika
dukungan menurun, akan berpengaruh pada psikologis dan kesiapan atlet
untuk membela daerahnya. Realita hari ini dikuatirkan akan menghancurkan
ungkapan bijak masa lalu yang berbunyi; hujan emas di negeri orang,
hujan batu di negeri sendiri, maka akan tetap berada di negeri sendiri.
Pertanyaan
yang muncul, kenapa harus bertahan di negeri yang dilanda hujan batu?
Kenapa harus bertahan dengan penderitaan? Kenapa harus bertahan dalam
himpitan ketidakpedulian pemangku kebijakan?
Ini
realitanya. Empat dari 12 medali emas PON XVIII di Riau, disumbangkan
dua atlet. Yosita Patricia Hapsari, dari renang, menyumbangkan tiga emas
dan satu perak. Mella Eka Rahayu, lifter angkat berat, penyumbang satu
emas, dan peraih emas di Kejuaraan Dunia 2013, kini telah berlabuh di
DKI Jakarta.
Yosita
Patricia Hapsari berlatih dan kuliah di Amerika. Dibiayai Pemprov DKI.
Mella Eka Rahayu, selain berlatih, juga sudah mendapatkan pekerjaan di
Bank DKI. Pada PON di Jawa Barat, 2016, keduanya masih berada dalam usia
emas dan masih memiliki peluang untuk mempersembahkan medali.
Kepergian
keduanya demi cita-cita dan masa depan, bukan tidak mungkin akan
diikuti atlet lain. Persoalan mendasar terkait dengan nasib mereka
dikemudian hari. Secara lahiriah, mereka memiliki batasan kemampuan.
Kepergian
keduanya, bisa menjadi pelatuk bagi yang lain. Kondisi ini sekaligus
mengancam target 15 emas yang dicanangkan untuk PON di Jawa Barat. Kalau
pun di PON Remaja 2014 Jawa Timur, kontingen Sumbar berada di lima
besar, tidaklah memberikan jaminan untuk PON 2016 di Jawa Barat. Usia
emas mereka bukan di PON Jawa Barat, melainkan di PON berikutnya. Itu
pun dengan catatan, mereka tetap dibina dan dikawal secara baik dan
benar.
Jangan
tangisi kepergian mereka, sebab tak mungkin mereka bertahan ketika
tak ada kepedulian. Jangan sesali pilihan mereka, sebab pemegang
kendali kebijakan itu sendiri yang tak berpihak pada mereka. *
*Penulis adalah Wartawan Utama Harian Umum Rakyat Sumbar
CATATAN:
Tulisan ini dimuat Harian Umum Rakyat Sumbar dan Padang Ekspres, edisi Senin 22 Desember 2014
No comments:
Post a Comment