Oleh: Firdaus
Minggu (21/12) pagi. Fazril Ale, Sekum Pengda Pertina Sumbar, memberikan waktu kepada
seorang petinju untuk segera menurunkan berat badannya.
“Waktu yang tersisa
hanya dua jam,” kata Ale.
Permintaan itu
disikapi berbeda oleh pelatih dari petinju tersebut. Sang pelatih
mencak-mencak. Ia protes sikap Fazril Ale. Dua isi protesnya. Pertama, tak
mungkin petinjunya kelebihan berat badan hingga 1,5 kg.
“Timbangannya rusak!
Timbangannya rusak!” katanya keras, sehingga semua orang yang berada di aula
Kantor Bupati Dharmasraya, ketika itu, terkejut.
Kedua, katanya, tak
masuk akal jika harus menurunkan berat badan 1,5 kg dalam dua jam, “tak masuk
akal, ini keputusan gila!” katanya.
Fazril Ale tak mau
kalah, “mau tak masuk akal, mau dibilang gila, terserah! Jika sampai batas
waktunya, berat petinju anda tak
sesuai, panitia akan mendiskualifikasinya,” kata Ale.
Sang pelatih tetap
ngotot. Ia menyalahkan timbangan. Katanya, timbangan rusak. Ketika beberapa orang yang tahu takaran beratnya, ditimbang, tak ada perbedaan. Disaat sang
pelatih terus ngotot, Fazril Ale pun mengeluarkan kartu truf-nya.
Si pelatih pun
kemudian diam. Tak ada perlawanan. Ia pun kemudian pergi.
*
Minggu (28/12), pagi ini. Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) Sumbar ke 13, di
Kabupaten Dharmasraya, tahun 2014, telah berakhir. Ditutup dua hari lalu. Kota
Padang tetap perkasa. Menjadi juara umum untuk ke 13 kalinya. Tak tergoyahkan
sejak pertama kali hajatan ini digelar, sejak Porprov masih bernama Pekan Olahraga Daerah (Porda).
Setelah Porprov
usai, gelanggang pun sepi. Semua kembali ke “habitat”-nya. Tinggal kenangan,
suka dan duka tercecer sepanjang perjalanan mempersiapkan atlet, kontingen,
sarana dan prasarana hingga perangkat pertandingan serta perangkat pendukung
suksesnya hajatan di bumi Dharmasraya.
Sejumlah catatan pun
mengemuka usai pesta dua tahunan tersebut. Pertama, terlepas dari berbagai
masalah selama persiapan hingga selesai Porprov
2014, yang pasti Kabupaten Dharmasraya
telah mencatatkan dirinya dalam lembaran sejarah olahraga di Sumbar.
Negeri yang baru
seumur jagung, ternyata mampu menyelesaikan tugas besar untuk ukuran kegiatan
provinsi. Sukses ini sekaligus mengikuti sukses MTQ tingkat Sumbar, beberapa
tahun sebelumnya. Kabupaten Dharmasraya menjadi
daerah pemekaran pertama di Sumbar yang telah berhasil menjadi tuan rumah MTQ
dan Porprov.
Kedua, adanya
batasan usia untuk cabang tertentu, perlu didukung penuh. Semua cabang harus
memiliki batasan usia. Pembatasan usia
ini ditujukan agar Sumbar tetap memiliki atlet-atlet muda yang bisa dibina dan
dipersiapkan secara berjenjang dan terukur. Ketika tak ada pembatasan, maka atlet-atlet
uzur akan tetap perkasa.
Jika diajukan
komitmen ini, tak semua cabang yang setuju. Alasannya, di cabang tertentu, hingga tingkat dunia pun
tak ada batasan usia, kenapa di Porprov harus dibatasi? Jika bersikukuh dengan
sudut pandang berbeda ini, maka tak akan pernah ada titik temunya, tetapi jika sama-sama
melihat dari sudut pembinaan, maka tak ada yang tak mungkin. Justru akan
melahirkan bibit-bibit yang lebih potensial.
Ke tiga, Pengprov
itu menjadi pemain. Ini masalah klasik, masalah sejak doeloe. Entah kenapa, krumuk-krumuk ini tak pernah selesai. Banyak cabang yang ----sepertinya---- sengaja
membiarkan ketidakberesan penangganan atlet.
Membiarkan ketidakteraturan, akan memberikan peluang keuntungan tertentu pada
orang-orang tertentu di cabangnya.
Pengurus Provinsi
(Pengprov) cabang olahraga seharus
menjadi operator dan atau wasit, tapi dalam prakteknya, masih banyak
Pengrpv berperan sebagai “playmaker” untuk kepentingan tertentu. Pengprov menjadi “playmaker” sudah menjadi rahasia umum. Sengaja mendistribusikan atlet ke daerah yang
membutuhkan, sekali pun daerah bersangkutan tak memiliki hubungan dengan atlet bersangkutan,
apalagi membinanya.
Dalam kapasitas “wasit”,
seringkali pula Pengprov membiarkan off side dan pelanggaran. Mudahnya atlet
lompat pagar, merupakan salah satu indikator. Padahal sebagai otoritas cabang,
seharusnya Pengprov sudah tahu dan mengenal semua atlet yang berlaga.
Ketentuan tempat
menetap, mesti diperpanjang. Kalau kurang setahun, akan membuka celah
kecurangan. Menghadapi ivent resmi berkelas daerah, persiapan selama itu sangatlah
singkat, sehingga sangat tidak masuk akal jika kondisi seperti ini masih
dikategorikan sebagai pembinaan oleh daerah bersangkutan.
Buntut realita itu,
pada Porprov kali ini, disinyalir ada atlet yang lompat pagar disaat-saat injury time. Hijrah ke daerah baru jelang pendaftaran saja.
Hebatnya oknum aparatur pemerintahan
turut memuluskan langkah curang itu. Identitas keluarga diperoleh secara
gampang. Konon ada juga tiga bersaudara yang
membela tiga daerah berbeda. hal itu berarti, satu keluarga punya tiga
kartu keluarga di tiga daerah berbeda.
Terjadi saling klaim
atlet terjadi. Paling kentara dan
“telanjang” terjadi di beberapa cabang,
”terutama dibulutangkis, panjat tebing dan renang,” kata Syaiful SH, Waketum
KONI Provinsi Sumbar.
Keempat, terobosan
yang dilakukan tinju, patut diacungi jempol. Membatasi petinju yang bertarung
di Porprov dengan jalan seleksi melalui Kejurda, sekaligus Pra Porprov, memberikan jaminan kualitas. Petinju yang
bertarung di ajang ini harus melalui proses panjang.
Pada banyak cabang,
sering dijumpai pertarungan tak seimbang. Masih ada yang mengirimkan atletnya
dalam konteks mencoba, padahal Porprov bukanlah ajang ujicoba. Sudah menjadi
bagian dari pertarungan sesungguhnya. Tidak
sembarangan.
Terhadap persoalan hal
ini, ada beberapa indikasi. Di antaranya, memanfaatkan peluang aji mumpung. Mumpung ada kesempatan, ada duitnya, maka ada peluang untuk
“menderek” orang-orang tertentu. Padahal
bisa saja atlet yang diterjunkan tersebut belum pantas untuk diturunkan dan
“diadu” di arena.
Ketika Porprov di
Limapuluh Kota, dua tahun silam, ada 215 petinju yang berlaga. Ada sejumlah
partai tak seimbang. Kali ini hanya ada 90 petinju, hasil saringan melalui
Kejurda. Pemberlakuan sistem Pra
Porprov, sangat membantu Pengrov mendata atletnya. Sebelum Porprov berlangsung, pergerakan atlet sudah bisa dimonitor. Kalau
pun, misalnya, atlet tertentu dapat tiket ke Porprov berdasarkan by name, maka ia harus turun atas nama
daerah yang dibela semula, tak bisa dibawa ke tempat lain. Begitu pun
sebaliknya. Jika ia sudah membela sebuah daerah di babak Pra Porprov, kemudian
gagal ke Porprov, maka ia tak bisa pindah
begitu saja ke daerah lain.
Diperkirakan tak
banyak Pengprov yang setuju dengan syarat Kejurda ini. Jika itu diterapkan,
maka Pengprov tak akan bisa lagi menjadi playmaker,
yang berperan mendistribusikan atletnya secara “merata” ke daerah. Proses
pendistribusian itu, diduga dan sangat
mungkin terjadi transaksi. Kalau bisa
bertransaksi, maka daerah akan lebih
cenderung memilih opsi transaksi daripada pembinaan.*
*Penulis
adalah wartawan utama Harian Umum Rakyat Sumbar
CATATAN:
Tulisan ini dimuat pada rubrik KOPI MINGGU, Harian Pagi Padang Ekspres, edisi Minggu 28 Desember 2014
No comments:
Post a Comment