Oleh:
Firdaus
Pameo usang; titip pesan bisa berlebih, titip uang
bisa berkurang. Pameo itu memberikan gambaran,
rumitnya persoalan jika pesan disampaikan tidak secara benar. Lalu, bagaimana jadinya
jika pesan itu benar yang tidak jelas?
Usia Kabinet Kerja yang masih seumur jagung,
ternyata telah “menghasilkan” sejumlah pesan yang membingungkan. Dalam ilmu
komunikasi, sebuah pesan akan bisa dipahami oleh komunikan (audiens atau
penerima pesan) jika disampaikan oleh komunikator (pengirim pesan) secara baik
dan jelas.
Perintah presiden Jokowi ketika mengumumkan para
pembantunya di halaman Istana Negara, sangat jelas. Jokowi berulang kali
mengungkapkan; lari, lari, lari! Pesan tersebut memberikan isyarat, sang
presiden ingin agar anggota kabinetnya segera bertindak dan bergerak cepat.
Persoalan justru muncul dari setelah ketiga kartu
sakti tersebut dikeluarkan. Seperti dikutip dari Ismedia, Rozaq Asyhari dari Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi
Manusia (PAHAM) Indonesia melihat ada keganjilan dalam penerbitan kartu-kartu
tersebut; setidak ada tigal hal yang patut dipertanyakan; Pertama, dari mana
pos anggrannya diperoleh, sedangkan para menteri belum ada yang rapat dengan
DPR. Semua anggaran yang digunakan dari APBN kan harus dibahas dan ditetapkan
bersama antara pemberintah dan DPR. Apalagi program ini disebut untuk 1,289
juta masyarakat miskin, dengan total anggaran sebesar Rp6,44 triliun, ini kan
bukan angka yang main-main. Semakin membingungkan ketika ada menteri yang
menyebutkan sudah ada posting anggarannya, ini dapatnya dari mana dan kapan di
bahas dengan DPR?
Kedua, Hal
aneh lainnya adalah mekanisme penggaran macam apa yang dipergunakan. Kok bisa
hanya dalam dua pekan saja, uang bisa dibagi-bagi langsung ke masyarakat.
Bukankah penggunaan anggaran tersebut harus sesuai dengan alur dan prosedur
keuangan negara, yang bisa dikatakan hampir mustahil direncanakan dan
dieksekusi hanya dalam dua pekan.
Keanehan ketiga menurut mahasiswa program doktor
(S3) Fakultas Hukum UI ini adalah siapakah operatornya, dan bagaimana mekanisme
pengadaannya. Pengadaan kartu dan lain sebagainya kan harus dilakukan dengan
mekanisme tender, untuk program sebesar ini kan tidak bisa digunakan mekanisme
penunjukan langsung, sangat tidak mungkin hal ini dilakukan hanya dalam waktu
dua pekan saja.
Kondisinya lebih parah ketika diperhatikan secara
seksama sejumlah pesan yang disampaikan para pembantunya, pascadiluncurkannya
tiga kartu sakti pada 3 November 2013. Kartunya sudah dibagikan kepada
masyarakat. Sehari setelah diluncurkan, Menteri koordinator bidang Pembangunan
Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani menyatakan masih menyiapkan landasan hukum
program yang diluncurkan. Keesokan harinya, Mensesneg Pratikno menyatakan Penerbitan kartu KIS, KIP dan KKS
sama sekali tidak memakan Anggaran Negara (APBN), melainkan dari tanggung jawab
sosial sejumlah BUMN. Menurut Mensesneg dana itu berasal dari dana CSR BUMN.
Tapi untuk tahun berikutnya baru dana dari APBN karena terkait anggaran.
Empat hari kemudian, Wakil Presiden Jusuf Kalla
menjawab tentang tidak adanya payung hukum untuk 3 program kartu sakti. Menurut
Jusuf kalla, KIS, KIP dan KKS itu payung hukumnya jelas. Menurut Jusuf Kalla,
KIS anggarannya di BPJS (JK harus baca UU BPJS lagi) , Anggaran pendidikan di Diknas
hanya sistem saja (tapi sistemnya seperti apa dia tidak tahu) kalau KJS itu di
bawah Depsos anggarannya 5 Triliun,
Menurut Menko Perekonomian Sofyan Djalil, Program 3
kartu sakti ini berlaku tanggal 7 November 2014. Artinya, sudah berlaku seminggu, karena sudah berlaku,
sudah ada yang memanfaatkannya, sudah tersebar kartunya.
Tanggal 8 November 2014, Eva sundari Politisi PDIP
menyatakan bahwa sumber 3 kartu Sakti bukan dari dana CSR seperti yang
diungkapkan Mensesneg Pratikno. Eva membantah pernyataan Mensesneg. Menurut
Eva, pendanaan itu berasal dari APBN Perubahan 2014 pada zaman Pak SBY. Payung
hukumnya adalah UU SJSN, UU BPJS dan Perpres.
Tiga hari setelah pernyataannya dipublikasikan
media, Mensesneg Pratikno menyatakan
pendanaan 3 Kartu Sakti itu berasal dari APBN-P, lalu Pratikono
mengatakan statemen terdahulu bahwa dana ketiga kartu tersebut dari CSR BUMN,
bukanlah pernyataan darinya.
Dipandang dari sudut komunikasi, semua pesan yang
dibeberkan para pembantu presiden sangat membingungkan masyarakat. Dalam
konteks ini, seharusnya pesan yang disampaikan seragam, sebab membawa pesan
yang sama dari sumber yang sama. Kenapa pesannya bias dan senjang?
Kesenjangan efek yang ditimbulkan oleh kekeliruan
cara-cara komunikasi ini, setidaknya dapat diperkecil dengan menjalankan empat
dari tujuh langkah, berdasarkan pandangan
Rogers dan Andhika (1979) dalam Pembangunan
Komunikasi-nya Drs Zulkarimein Nasution, M.Sc, diantaranya; mencakup prinsip-prinsip penggunaan pesan
yang dirancang khusus untuk khalayak yang spesifik, mengkomunikasikan pesan
bagi golongan yang tidak dituju namun tetap bermanfaat bagi golongan yang
hendak dijangkau, melokalisir penyampaian pesan bagi kepentingan khalayak,
memanfaatkan saluran tradisional.
Terhadap kesimpangsiuran informasi yang
dikomunikasikan kabinet kerja ini, ada persoalan mendasarkan lain;
jangan-jangan pesan yang disampaikan itu sengaja dicari-cari untuk membuat
kesan bahwa perintah pertama dari presiden; lari, lari, lari, sudah dilakukan.
Apakah itu menabrak rambu-rambu atau tidak, itu diurus belakangan. Sepertinya
ada sesuatu yang disembunyikan.*
CATATAN: Tulisan ini dimuat pada rubrik KOPI MINGGU, Harian Pagi Padang Ekspres, edisi Minggu 23 November 2014
No comments:
Post a Comment