Oleh: Firdaus
Suatu ketika, seorang kawan datang pada saya. Ia
menyampaikan uneg-uneg yang ada dalam pikirannya. Banyak yang ia
beberkan. Apa yang ia beberkan tersebut, sebenarnya sudah menjadi rahasia umum.
Sudah diketahui dan dipahami banyak orang.
“Uneg-uneg ini harus dikeluarkan, jika tidak bisa
menyanak di pikiran,” katanya.
“Kalau pun dibiarkan menyanak dipikiran, adakah
yang akan terjadi?” Tanya saya.
“Sakik kapalo den, waang tak ingin melihat saya
nanti bicara sendiri sambil senyum dan ketawa sendiri kan?” tanyanya. Entah
serius, entah mengancam. Saya tak tahu pasti.
Ia pun kemudian bercerita. Eh, ternyata uneg-uneg
tersebut seperti surat saja.
*
Tuan. Hamba lahir dan dibesarkan di negeri tuan, tapi karena hamba hanya rakyat jelata,
maka kalau pun kita berjumpa, maka tuan tak hanya sekadar memandang hamba
sebelah mata. Tapi mungkin sambil pejamkan mata. Tak apalah, saya tak kecewa.
Saya terima apa adanya.
Selama ini
hamba belum pernah meminta apa pun pada tuan, makanya izinkan sekali ini hamba
meminta agar tuan berkenan membaca surat ini. Hanya itu harapan hamba. Berharap
agar surat ini tuan baca. Setelah tuan baca, terserah mau tuan saja,
diperhatikan atau diabaikan, itu urusan tuan.
Hamba tak
berharap surat ini sampai ke kaki tangan tuan, sebab banyak di antara mereka yang tak bisa
diandalkan. Hamba yakin, tuan pasti paham maksud hamba. Ya, tak sedikit kaki
tangan tuan yang bekerja semauanya. Setelah
apel pagi, mereka akan mengobrol di lapau kopi, menjelang tengah hari
mereka baca koran atau main games dulu. Kerja sebentar, setelah itu istirahat
siang.
Banyak yang
mencari kesempatan dalam kesempitan. Pesan bijak masa lalu, benar-benar
diamalkannya; sasampik-sampik balai, anak rajo lalu juo. Selain itu, tak
sedikit pula laporan kaki tangan tuan itu yang menyampaikan sesuai keinginan tuan saja. Apa yang membuat
tuan bisa senang, biasanya itu yang akan disampaikan mereka.
Tuan pasti
tahu kalau persoalan di negeri seberang lebih kompleks dibandingkan di sini.
Mereka bisa menutup kompleks pelacuran, sementara di negeri ini masalah tenda
ceper dan tenda biru saja tidak terselesaikan.
Agak sekali,
berkunjunglah tuan ke sana. Ada yang jualan soft drink, penjualnya duduk
menghadap jalan raya, pembelinya dibiarkan duduk di tenda biru, persis di
belakangnya. Tendanya sangat rendah. Masuk pun harus merunduk. Tak ada
penerangan. Benar pernah ada razia, tapi razia sering bocor. Kalau tidak, setelah
petugas pergi, mereka jualan lagi. Seakan mereka main kucing-kucingan dengan
petugas.
Itu hanya
satu kasus, mungkin kasus kecil di antara ribuan persoalan yang ada di negeri
tuan. Misalnya, setiap hari ada razia, setiap hari pula ada yang ditangkap.
Macam-macam kasusnya, mulai dari penangkapan anak sekolah di warnet, pasangan
muda-mudi di kos-kosan, penangkapan di tenda ceper, temuan kasus narkoba di café
dan banyak lagi.
Tuan. Hamba kadang tersenyum geli sendiri.
Dari satu sisi, langkah itu sudah benar, sebab
kaki tangan tuan sudah bekerja. Mereka orang-orang hebat yang mau
menantang risiko. Tapi kerja mereka belum efektif, sebab besok atau lusa
kejadian serupa di tempat yang sama terulang kembali. Kaki tangan tuan hanya
menggiring orang yang ada, tanpa pernah memberikan tindakan nyata terhadap
tempat tersebut. Kenapa tidak dicabut saja izinnya. Kalau tempat tersebut tanpa
izin, tutup atau bongkar saja tempat tersebut. Kalau pun mengajukan izin, tolak
permintaannya.
Di ibukota
sana, sudah menjadi rahasia umum kalau
ada tempat-tempat yang seperti hamba sebutkan tadi ditutup, padahal backingnya,
konon orang-orang hebat. Pedagang kaki lima yang berjualan di jalan
diperkarakan karena mengganggu ketertiban umum dan memperkosa wilayah untuk hak
orang lain. Orang-orang yang tinggal di rumah susun dirazia karena bisa
menyalahi peruntukan.
Hamba juga
ingin bertanya, tuan. Kenapa tuan setengah hati dalam urusan rokok. Dulu
dikatakan, merokok dapat merusak kesehatan. Kini dikatakan, rokok bisa
membunuh, lalu dilengkapi juga dengan gambar-gambar menakutkan. Kenapa hanya
sekadar memberikan kabar pertakut, sementara izin terhadap rokok-rokok baru
tuan keluarkan juga? Atau, seperti itukah keadilan? Seperti itukah hak asasi?
Kenapa tuan
begitu tolerasi benar? Di seberang lautan sana, ada negeri yang bisa mendeteksi
dan memblokir situs porno. Menutup pintu untuk kendaraaan luar sebab negeri itu
memiliki produksi mobil sendiri. Semua tahu kalau negeri ini sudah sering
macet, namun mobil luar datang juga dengan iming-iming murah, sementara lebar
jalan tidak juga bertambah. Ah, bedebah!
Maaf tuan,
saya sedikit terbawa emosi karena saya punya nyali tapi tak punya gigi untuk
beraksi!
Semoga tuan
maklum, ini hanya surat dari rakyat jelata. Tuan boleh memandang sebelah mata,
atau tidak pakai mata. Tak apalah, saya tak kecewa. Saya terima apa adanya.
*
Itu surat teman saya. Apa pendapat anda? Kalau
saya, no comment. Saya tak ikut serta!*
CATATAN:
Tulisan ini dimuat pada rubrik KOPI MINGGU, di Padang Ekspres, edisi Minggu 1 September 2014
No comments:
Post a Comment