Cerpen: Firdaus Abie
Aku harus pulang. Harus! Harus! Tak seorang pun bisa melarang. Tak seorang pun bisa menghentikan langkahku. Rinduku pada kampung halaman, Kampuang[1] Tinggihati, Nagari[2] Takmautau, tak tertahankan lagi. Rindu seorang anak kampuang yang sudah lama tak pernah pulang.
Ya, sudah sangat lama sekali aku tak pulang. Eh, bukan sudah sangat lama, tapi tak pernah pulang sekali pun, walau agak sejenak, sejak aku merantau ke tanah Jawa. Ku coba menghitung waktu. Oh, sudah lebih 40 tahun. Sudah sangat lama.
Kerinduan itu memuncak ketika aku baru saja menuntaskan novel Robohnya Surau Kami, karya A.A Navis. Aku menerawang mengingatkan ilustrasi di novel tersebut, memantik kerinduanku pada kampuangku, kampung halaman yang membesarkanku.
Kampuangku berhawa sejuk, tapi lebih sering sangat dingin. Penduduknya sering menyandang kain, teman perjalanan ketika cuaca dingin. Kampuangku masih hijau. Hutan dan ladang terhampar luas di pinggang gunung berapi. Sekali-kali gunung itu batuk, mengeluarkan asap, terkadang batuknya bercampur debu dan pasir.
Kami orang gunung, begitu warga kampuang lain menyebut kami, tak risau dengan gunung berapi yang batuk. Itu sudah biasa sejak nenek moyang kami. Kata urang tuo kampuang[3] secara turun temurun, kami justru takut kalau dalam rentang satu atau dua tahunan berapi tak batuk. Gunung berapi itu batuk untuk mengeluarkan potensi kekuatan yang tersimpan di perutnya. Kalau tak batuk, maka kekuatannya akan sangat kuat. Itu berpotensi akan menghadirkan bencana besar.
Aku meninggalkan Kampuang Tinggihati kurang sebulan setelah aku tak naik ke kelas III SMP. Pedih sangat rasanya. Aku kecewa. Paling sangat kecewa pada Angku Udin, wali kelas yang juga kepala sekolah dan guru mengajiku.
Aku kecewa karena tak bisa menerima keputusan tak naik kelas. Pernah aku hendak menanyakan padanya, tetapi kedua orang tua ku melarang. Tak usah.
“Tak ada gunanya, malahan nanti kamu dicap sebagai anak pembangkang oleh orang kampung,” kata abak menahan langkahku.
“Tapi, bak. Apa hebatnya Sukir dariku? Dimana letak kepintaran si Badul, Badai, atau si Karapai dariku? Malahan mereka sering mencenek[4] padaku. Kenapa mereka naik kelas? Itu yang akan aku tanyakan pada Angku Udin,” nafasku turun naik.
“Tak usahlah,” Amak turut melerai, “Angku Udin pasti lebih tahu daripadamu, Angku Udin pasti tidak pernah salah,” kata Amak.
Kalaulah tidak amak dan abak yang melarang, aku pasti sudah mendatangi Angku Udin. Aku tak bisa menerima keputusan tidak naik kelas. Apa hebatnya si Sukir, Badul, Badai dan Karapai? Kenapa mereka naik kelas, aku tidak?
Kalimat amak yang terakhir, Angku Udin pasti tidak pernah salah, juga aku dapatkan dari orang-orang kampuangku. Kalimat itu sering aku dengar, malah sudah sangat akrab di telinga sejak aku masih kanak-kanak sekali.
Angku Udin sangat disegani di kampuang. Ia orang terdidik di kampuangku. Ia guru, kepala sekolah dan juga guru mengaji. Jika ada yang baralek[5] pasti beliau ada di sana. Ia yang akan mengaji dan membaca doa. Kalau ada orang yang meninggal dunia, ia pula yang kemudian menyelenggarakan jenazahnya sampai dikebumikan, kemudian Angku Udin pula yang akan memimpin doanya. Tak ada yang lebih hebat dari Angku Udin di kampuang.
Aku patuh pada abak dan amak. Daripada aku mendatangi Angku Udin, kemudian dicap oleh orang kampuang sebagai anak pembangkang, lebih baik aku berangkat. Aku tinggalkan kampuang. Ku tinggalkan kampuang menuruti keinginan kaki melangkah.
Ku turuni pinggang gunung, kemudian ku turuti keinginan kaki melangkah. Sesampai di Padangpanjang, aku menumpang kereta api ke arah selatan. Di stasiun kereta api Bukikputuih aku turun, kemudian sampai di pelabuhan Telukbayur.
Niatku sudah bulat. Aku harus ke pulau Jawa. Sebelum mendapatkan tiket kapal, hampir satu bulan aku menjadi kuli angkat di pelabuhan. Upah yang aku terima ternyata menjadi modal awalku di pulau Jawa. Aku dititipkan seorang pegawai pelabuhan kepada nahkoda kapal barang yang hendak berangkat ke pulau Jawa.
“Turun dima?” tanya nahkoda, sehari setelah berlayar mengarungi samudera.
“Dimana kapal ini pertama kali berlabuh, da?” tanyaku.
“Di Tanjungperiuk,” jawabnya.
“Ya, aku turun di sana saja,” jawabku enteng.
Uda Bidin kemudian melanjutkan,
*
Begitu kakiku memasuki Kampuang Tinggihati, Nagari Takmautau, aku langsung sujud syukur. Akhirnya aku bisa juga pulang. Kepulangan yang tak pernah aku rencanakan sebelumnya. Jauh hari sebelumnya, saat aku menyeret langkah meninggalkan kampung halaman ini, lebih dari 40 tahun silam, aku tak pernah mengangankan untuk kembali. Biarlah aku pergi jauh menyeret kepedihan yang sudah menikam jantungku yang paling dalam.
Ketika aku dapat kabar dari orang kampungku yang bertemu di Bogor, abak dan amak sudah meninggal, aku tak juga pulang. Kabar itu aku dapatkan 13 tahun setelah aku merantau. Ketika itu, katanya, amak meninggal dunia sekitar setahun sebelum pertemuanku dengannya, sedangkan abak meninggal tiga bulan sebelum amak.
Berlahan ku masuki kampungku. Aku yakin, sekali pun abak dan amak tak ada, di kampungku pasti masih banyak keluarga abak dan amak. Atau setidaknya, uni Sarifah, kakakku satu-satunya, pasti masih di kampung.
“Kenapa waang[6] heran?” tanya Sarifah menjawab tanyaku.
“Aku heran saja, uni,” jawabku singkat.
Sarifah tak langsung menjawab. Ia terus mengumpulkan padi yang sedang terjemur. Ku bantu ia dengan menyodok padi, kemudian ia memasukkan ke dalam karung.
Ku amati gerakan uni Sarifah. Sangat tangkas. Rasanya aku kalah cekatan darinya, “tak ada yang lain selain Angku Udin itu, ni?” tanyaku lagi.
Uni Sarifah menggeleng. Aku bingung bercampur heran. Uni Sarifah tak juga memberikan jawaban.
Selepas magrib, sepulang dari surau, aku kembali ajukan pertanyaan serupa sepulang Jumatan siang tadi, pada uni Sarifah. Tak juga ada jawaban dari uni Sarifah.
“Itulah uni waang, ia lebih konsentrasi pada pekerjaannya daripada lingkungan,” uda Bidin, suami uni Sarifah buka suara, ketika selesai makan malam.
“Maksud uda?” tanyaku penasaran.
“Ia akan lebih banyak tahu persoalan ladang, sawah dan kebun dibandingkan memperhatikan lingkungannya yang lain,” sambungnya.
“Lantas, uda tahu jawaban dari pertanyaanku?” jawabku balik bertanya.
Uda Bidin menghela nafas panjang. Diteguknya kopi yang sejak magrib disediakan istrinya. Lalu ia bercerita, dua tahun selepas aku meninggalkan kampung, serombongan anak-anak kampung pun pergi. Sejak saat itu, berlahan dan pasti, ada saja yang pergi. Sejak mereka pergi, nyaris tak ada yang berkirim kabar. Juga tak ada yang pernah pulang.
Sejak saat itu, tak ada generasi muda lagi di kampung. Yang tinggal hanya yang sudah berkeluarga. Malahan ada yang menyesal, terlambat untuk pergi. Ada juga yang menyesal, kenapa terlalu cepat berkeluarga, akibatnya langkah kakinya tersendat.
Kehidupan di kampung tak lepas dari sawah, ladang dan ternak. Sekali-kali ke hutan mencari kayu bakar, lalu dijual ke pasar kecamatan. Siglus hidup tersebut berlangsung terus menerus. Warga nyaris hidup tanpa motivasi, selain keinginan untuk bertahan hidup. Dapat untuk makan pagi dan petang.
Di surau pun begitu. Setelah pensiun dari guru, Angku Udin mengabdikan hidupnya di surau. Setiap waktu salat, azan hingga jadi imam, suaranya yang selalu terdengar. Tak ada yang lain. Pernah suatu kali, Angku Udin sakit seminggu, tak ada aktivitas di surau. Kalau pun awalnya ada yang ke surau, namun hanya salat sendiri-sendiri.
“Tapi ketika salat jumat tadi, ada ustad yang lebih muda. Ia juga yang jadi imam ketika asar dan magrib, da,” potongku.
“Sampai sekarang, uda dan warga desa juga tak tahu siapa dia. Kalau tak salah, ia baru sepekan ini tampak di surau. Selain di surau, tak pernah ada yang berjumpa dengannya. Uda juga heran, materinya yang disampaikannya jumat lalu, sama persis dengan materi yang disampaikan siang tadi, yakni seputar kematian,”
“Tak ada yang pernah menanyakan langsung kepadanya?”
“Tak ada yang mau,”
*
Selepas fajar menyingsing di balik dedaunan, kabar mengejutkan warga datang. Angku Udin telah berpulang ke rahmatullah. Ia ditemukan dalam posisi sujud di mighrab surau. Warga memperkirakan, ia menghembuskan nafas terakhir saat salat subuh. Salat subuh biasanya hanya Angku Udin sendiri yang salat di surau.
Warga kampung bersepakat, jenazah Angku Udin harus dikebumikan hari ini juga. Ketika proses penyelenggaraan jenazah akan dilakukan, warga bingung. Bagaimana penyelengaraan yang benar? Selama ini mereka hanya menyerahkan sepenuhnya kepada Angku Udin.
Disaat kerisauan itu melanda, orang asing yang kemarin memberikan ceramah Jumat pun datang. Spontan saja warga meminta ia yang menyelengarakan jenazah. Prosesnya pun dilanjutkan, hingga jenazah Angku Udin dikebumikan selepas asar.
Ketika masuk waktu magrib, tak terdengar azan dari surau. Aku tetap menuju surau. Lima belas menit berlalu dari waktu magrib, tak ada yang azan. Juga tak ada tanda-tanda siapa yang akan jadi imam. Orang asing yang kemarin menjadi ustad ketika Jumatan, belum juga datang. Akhirnya salat pun dilakukan sendiri-sendiri.
Dua hari, tiga hari, lima hari hingga sepekan setelah kepergian Angku Udin, ternyata tak pernah ada lagi azan dari surau tua yang sebagian besar bangunannya tak terawat, sejumlah dindingnya yang terbuat dari papan pun sudah bolong-bolong. Tak pernah lagi ada salat berjamaah.
Orang asing yang dalam dua kali salat jumat sebelumnya menjadi khatib dan imam, juga tak pernah datang lagi. Tak pernah lagi muncul. Seakan ia hilang begitu saja, sejak setelah menyelenggarakan jenazah Angku Udin.
“Apakah tak ada rencana warga mencarinya, kemudian meminta ia menetap di kampung kita, da?” tanyaku pada Uda Bidin.
“Dicari kemana?” Uda Bidin pun gusar sembari melepaskan pandangan ke surau, tempat ia dulu mengaji. Tapi tak sampai khatam. Aku juga. Uni Sarifah juga. *
Padang, 15 Juli 2013
[1] Kampuang (dalam Bahasa Minang) yang berarti kampung.
[2] Nagari (dalam Bahasa Minang). Nagari merupakan wilayah administrasi pemerintahan terendah di Ranah Minang.
[3] Urang tuo kampuang (dalam Bahasa Minang) yang berarti sesepuh atau tetua kampung.
[4] Mencontek
[5] Nikah
[6] Sapaan akrab kepada lelaki yang lebih muda.
Catatan: Cerpen ini dimuat di Padang Ekspres
Aku harus pulang. Harus! Harus! Tak seorang pun bisa melarang. Tak seorang pun bisa menghentikan langkahku. Rinduku pada kampung halaman, Kampuang[1] Tinggihati, Nagari[2] Takmautau, tak tertahankan lagi. Rindu seorang anak kampuang yang sudah lama tak pernah pulang.
Ya, sudah sangat lama sekali aku tak pulang. Eh, bukan sudah sangat lama, tapi tak pernah pulang sekali pun, walau agak sejenak, sejak aku merantau ke tanah Jawa. Ku coba menghitung waktu. Oh, sudah lebih 40 tahun. Sudah sangat lama.
Kerinduan itu memuncak ketika aku baru saja menuntaskan novel Robohnya Surau Kami, karya A.A Navis. Aku menerawang mengingatkan ilustrasi di novel tersebut, memantik kerinduanku pada kampuangku, kampung halaman yang membesarkanku.
Kampuangku berhawa sejuk, tapi lebih sering sangat dingin. Penduduknya sering menyandang kain, teman perjalanan ketika cuaca dingin. Kampuangku masih hijau. Hutan dan ladang terhampar luas di pinggang gunung berapi. Sekali-kali gunung itu batuk, mengeluarkan asap, terkadang batuknya bercampur debu dan pasir.
Kami orang gunung, begitu warga kampuang lain menyebut kami, tak risau dengan gunung berapi yang batuk. Itu sudah biasa sejak nenek moyang kami. Kata urang tuo kampuang[3] secara turun temurun, kami justru takut kalau dalam rentang satu atau dua tahunan berapi tak batuk. Gunung berapi itu batuk untuk mengeluarkan potensi kekuatan yang tersimpan di perutnya. Kalau tak batuk, maka kekuatannya akan sangat kuat. Itu berpotensi akan menghadirkan bencana besar.
Aku meninggalkan Kampuang Tinggihati kurang sebulan setelah aku tak naik ke kelas III SMP. Pedih sangat rasanya. Aku kecewa. Paling sangat kecewa pada Angku Udin, wali kelas yang juga kepala sekolah dan guru mengajiku.
Aku kecewa karena tak bisa menerima keputusan tak naik kelas. Pernah aku hendak menanyakan padanya, tetapi kedua orang tua ku melarang. Tak usah.
“Tak ada gunanya, malahan nanti kamu dicap sebagai anak pembangkang oleh orang kampung,” kata abak menahan langkahku.
“Tapi, bak. Apa hebatnya Sukir dariku? Dimana letak kepintaran si Badul, Badai, atau si Karapai dariku? Malahan mereka sering mencenek[4] padaku. Kenapa mereka naik kelas? Itu yang akan aku tanyakan pada Angku Udin,” nafasku turun naik.
“Tak usahlah,” Amak turut melerai, “Angku Udin pasti lebih tahu daripadamu, Angku Udin pasti tidak pernah salah,” kata Amak.
Kalaulah tidak amak dan abak yang melarang, aku pasti sudah mendatangi Angku Udin. Aku tak bisa menerima keputusan tidak naik kelas. Apa hebatnya si Sukir, Badul, Badai dan Karapai? Kenapa mereka naik kelas, aku tidak?
Kalimat amak yang terakhir, Angku Udin pasti tidak pernah salah, juga aku dapatkan dari orang-orang kampuangku. Kalimat itu sering aku dengar, malah sudah sangat akrab di telinga sejak aku masih kanak-kanak sekali.
Angku Udin sangat disegani di kampuang. Ia orang terdidik di kampuangku. Ia guru, kepala sekolah dan juga guru mengaji. Jika ada yang baralek[5] pasti beliau ada di sana. Ia yang akan mengaji dan membaca doa. Kalau ada orang yang meninggal dunia, ia pula yang kemudian menyelenggarakan jenazahnya sampai dikebumikan, kemudian Angku Udin pula yang akan memimpin doanya. Tak ada yang lebih hebat dari Angku Udin di kampuang.
Aku patuh pada abak dan amak. Daripada aku mendatangi Angku Udin, kemudian dicap oleh orang kampuang sebagai anak pembangkang, lebih baik aku berangkat. Aku tinggalkan kampuang. Ku tinggalkan kampuang menuruti keinginan kaki melangkah.
Ku turuni pinggang gunung, kemudian ku turuti keinginan kaki melangkah. Sesampai di Padangpanjang, aku menumpang kereta api ke arah selatan. Di stasiun kereta api Bukikputuih aku turun, kemudian sampai di pelabuhan Telukbayur.
Niatku sudah bulat. Aku harus ke pulau Jawa. Sebelum mendapatkan tiket kapal, hampir satu bulan aku menjadi kuli angkat di pelabuhan. Upah yang aku terima ternyata menjadi modal awalku di pulau Jawa. Aku dititipkan seorang pegawai pelabuhan kepada nahkoda kapal barang yang hendak berangkat ke pulau Jawa.
“Turun dima?” tanya nahkoda, sehari setelah berlayar mengarungi samudera.
“Dimana kapal ini pertama kali berlabuh, da?” tanyaku.
“Di Tanjungperiuk,” jawabnya.
“Ya, aku turun di sana saja,” jawabku enteng.
Uda Bidin kemudian melanjutkan,
*
Begitu kakiku memasuki Kampuang Tinggihati, Nagari Takmautau, aku langsung sujud syukur. Akhirnya aku bisa juga pulang. Kepulangan yang tak pernah aku rencanakan sebelumnya. Jauh hari sebelumnya, saat aku menyeret langkah meninggalkan kampung halaman ini, lebih dari 40 tahun silam, aku tak pernah mengangankan untuk kembali. Biarlah aku pergi jauh menyeret kepedihan yang sudah menikam jantungku yang paling dalam.
Ketika aku dapat kabar dari orang kampungku yang bertemu di Bogor, abak dan amak sudah meninggal, aku tak juga pulang. Kabar itu aku dapatkan 13 tahun setelah aku merantau. Ketika itu, katanya, amak meninggal dunia sekitar setahun sebelum pertemuanku dengannya, sedangkan abak meninggal tiga bulan sebelum amak.
Berlahan ku masuki kampungku. Aku yakin, sekali pun abak dan amak tak ada, di kampungku pasti masih banyak keluarga abak dan amak. Atau setidaknya, uni Sarifah, kakakku satu-satunya, pasti masih di kampung.
“Kenapa waang[6] heran?” tanya Sarifah menjawab tanyaku.
“Aku heran saja, uni,” jawabku singkat.
Sarifah tak langsung menjawab. Ia terus mengumpulkan padi yang sedang terjemur. Ku bantu ia dengan menyodok padi, kemudian ia memasukkan ke dalam karung.
Ku amati gerakan uni Sarifah. Sangat tangkas. Rasanya aku kalah cekatan darinya, “tak ada yang lain selain Angku Udin itu, ni?” tanyaku lagi.
Uni Sarifah menggeleng. Aku bingung bercampur heran. Uni Sarifah tak juga memberikan jawaban.
Selepas magrib, sepulang dari surau, aku kembali ajukan pertanyaan serupa sepulang Jumatan siang tadi, pada uni Sarifah. Tak juga ada jawaban dari uni Sarifah.
“Itulah uni waang, ia lebih konsentrasi pada pekerjaannya daripada lingkungan,” uda Bidin, suami uni Sarifah buka suara, ketika selesai makan malam.
“Maksud uda?” tanyaku penasaran.
“Ia akan lebih banyak tahu persoalan ladang, sawah dan kebun dibandingkan memperhatikan lingkungannya yang lain,” sambungnya.
“Lantas, uda tahu jawaban dari pertanyaanku?” jawabku balik bertanya.
Uda Bidin menghela nafas panjang. Diteguknya kopi yang sejak magrib disediakan istrinya. Lalu ia bercerita, dua tahun selepas aku meninggalkan kampung, serombongan anak-anak kampung pun pergi. Sejak saat itu, berlahan dan pasti, ada saja yang pergi. Sejak mereka pergi, nyaris tak ada yang berkirim kabar. Juga tak ada yang pernah pulang.
Sejak saat itu, tak ada generasi muda lagi di kampung. Yang tinggal hanya yang sudah berkeluarga. Malahan ada yang menyesal, terlambat untuk pergi. Ada juga yang menyesal, kenapa terlalu cepat berkeluarga, akibatnya langkah kakinya tersendat.
Kehidupan di kampung tak lepas dari sawah, ladang dan ternak. Sekali-kali ke hutan mencari kayu bakar, lalu dijual ke pasar kecamatan. Siglus hidup tersebut berlangsung terus menerus. Warga nyaris hidup tanpa motivasi, selain keinginan untuk bertahan hidup. Dapat untuk makan pagi dan petang.
Di surau pun begitu. Setelah pensiun dari guru, Angku Udin mengabdikan hidupnya di surau. Setiap waktu salat, azan hingga jadi imam, suaranya yang selalu terdengar. Tak ada yang lain. Pernah suatu kali, Angku Udin sakit seminggu, tak ada aktivitas di surau. Kalau pun awalnya ada yang ke surau, namun hanya salat sendiri-sendiri.
“Tapi ketika salat jumat tadi, ada ustad yang lebih muda. Ia juga yang jadi imam ketika asar dan magrib, da,” potongku.
“Sampai sekarang, uda dan warga desa juga tak tahu siapa dia. Kalau tak salah, ia baru sepekan ini tampak di surau. Selain di surau, tak pernah ada yang berjumpa dengannya. Uda juga heran, materinya yang disampaikannya jumat lalu, sama persis dengan materi yang disampaikan siang tadi, yakni seputar kematian,”
“Tak ada yang pernah menanyakan langsung kepadanya?”
“Tak ada yang mau,”
*
Selepas fajar menyingsing di balik dedaunan, kabar mengejutkan warga datang. Angku Udin telah berpulang ke rahmatullah. Ia ditemukan dalam posisi sujud di mighrab surau. Warga memperkirakan, ia menghembuskan nafas terakhir saat salat subuh. Salat subuh biasanya hanya Angku Udin sendiri yang salat di surau.
Warga kampung bersepakat, jenazah Angku Udin harus dikebumikan hari ini juga. Ketika proses penyelenggaraan jenazah akan dilakukan, warga bingung. Bagaimana penyelengaraan yang benar? Selama ini mereka hanya menyerahkan sepenuhnya kepada Angku Udin.
Disaat kerisauan itu melanda, orang asing yang kemarin memberikan ceramah Jumat pun datang. Spontan saja warga meminta ia yang menyelengarakan jenazah. Prosesnya pun dilanjutkan, hingga jenazah Angku Udin dikebumikan selepas asar.
Ketika masuk waktu magrib, tak terdengar azan dari surau. Aku tetap menuju surau. Lima belas menit berlalu dari waktu magrib, tak ada yang azan. Juga tak ada tanda-tanda siapa yang akan jadi imam. Orang asing yang kemarin menjadi ustad ketika Jumatan, belum juga datang. Akhirnya salat pun dilakukan sendiri-sendiri.
Dua hari, tiga hari, lima hari hingga sepekan setelah kepergian Angku Udin, ternyata tak pernah ada lagi azan dari surau tua yang sebagian besar bangunannya tak terawat, sejumlah dindingnya yang terbuat dari papan pun sudah bolong-bolong. Tak pernah lagi ada salat berjamaah.
Orang asing yang dalam dua kali salat jumat sebelumnya menjadi khatib dan imam, juga tak pernah datang lagi. Tak pernah lagi muncul. Seakan ia hilang begitu saja, sejak setelah menyelenggarakan jenazah Angku Udin.
“Apakah tak ada rencana warga mencarinya, kemudian meminta ia menetap di kampung kita, da?” tanyaku pada Uda Bidin.
“Dicari kemana?” Uda Bidin pun gusar sembari melepaskan pandangan ke surau, tempat ia dulu mengaji. Tapi tak sampai khatam. Aku juga. Uni Sarifah juga. *
Padang, 15 Juli 2013
[1] Kampuang (dalam Bahasa Minang) yang berarti kampung.
[2] Nagari (dalam Bahasa Minang). Nagari merupakan wilayah administrasi pemerintahan terendah di Ranah Minang.
[3] Urang tuo kampuang (dalam Bahasa Minang) yang berarti sesepuh atau tetua kampung.
[4] Mencontek
[5] Nikah
[6] Sapaan akrab kepada lelaki yang lebih muda.
Catatan: Cerpen ini dimuat di Padang Ekspres
No comments:
Post a Comment