Oleh: Firdaus
Bangunlah jiwanya/ bangunlah badannya…
Untuk Indonesia Raya…
Penggalan lagu itu, sangat popular. Semua warga negeri ini, mestinya
wajib hafal dan memahami untaian makna yang terkandung pada lagu Indonesia
Raya, karya W.R Supratman. Cobanya nyanyikan agak sejenak dengan penghayatan
yang dalam, maka akan menghadirkan gemuruh dalam diri.
Suasananya semakin lain ketika dinyanyikan sesaat sebelum laga Timnas
Indonesia U-22 melawan Timor Leste, di Stadion Utama Riau, tadi malam. Gelegarnya
terasa menyusuk relung-relung hati. Rasa itu pasti lebih dahsyat dirasakan oleh
pemain.
Inilah spesialnya sepakbola. Setiap akan memulai ivent antar negara, dipastikan diawali dengan menyanyikan lagu kebangsaan. Pada multi-event, lagu kebangsaan dinyanyikan saat penghormatan pemenang yang memperoleh gelar juara atau medali emas. Perlakuan ini sama untuk kunjungan kenegaraan bagi kepala negara.
Seorang kawan menyebutkan, jika saja pelaku olahraga di negeri ini
menghayati, memaknai dan memainkan perannya secara sungguh-sungguh, sesuai
pesan dalam lagu tersebut, diyakini kejayaan olahraga negeri ini tak akan
tertandingi negara lain.
Pada era 1960-an hingga 1980-an, pada cabang sepakbola, misalnya, Indonesia
hanya bersaing dengan Thailand untuk Asia Tenggara. Juga nyaris menembus Piala
Dunia 1986. Setelah itu, nyaris tak banyak yang bisa diharapkan. Malaysia sudah
sering mempermalukan Timnas Indonesia. Negara kecil; Singapura, tak jarang pula
mempecundangi Indonesia. Cabang lain juga tak jauh berbeda. Bidang lain juga
begitu, setali dua uang.
Sudahkah dibangun jiwanya, sudahkah dibangun raganya, sesuai pesan
bijak pada lagu kebangsaan? Inilah yang menjadi persoalan selama ini. Sang
kawan menyebutkan; jiwanya belum
terbangun, raganya belum terisi utuh. Yang sudah? Baru dibangun fasilitas
pisik, itu pun masih serampangan.
Bagaimana bisa membangun jiwa,
jika jiwa orang-orang yang seharusnya membangun jiwa anak-anak muda
tersebut tidak memiliki jiwa pula? Terhadap hal ini, suatu ketika, saya pernah
berkunjung ke PPLP Padang. Tempat yang seharusnya menjadi “kawah candradimuka“
untuk mempersiapkan atlet berprestasi terbaik di Sumbar, ternyata tidak
mendapatkan perlakuan terbaik. Padahal, dalam hitung-hitungannya, mereka
dibiayai dan dipelihara oleh negara secara utuh. Kamp para atlet tersebut
sangat memiriskan, tak ubahnya barak buruk yang memprihatinkan.
Itu baru dari sisi tempat mereka beristirahat dan tinggal selama dalam
pendidikan. Belum lagi dikaji soal apakah mereka yang masuk ke sana benar-benar
berprestasi dan lolos seleksi sesuai standar? Apakah fasilitas yang didapatkan
mereka sesuai dengan apa yang dianggarkan?
Perihal keprihatinan terhadap kondisi ini, pernah menjadi catatan
tersendiri bagi Syahrial Bakhtiar, sesaat setelah dilantik menjadi Kepala Dinas
Pemuda dan Olahraga Sumbar, beberapa bulan lalu. Bagaimana bisa membangun badannya, sementara
jiwanya menghadapi masalah. Berbeda jika dibandingkan dengan membangun fisik
---gedung, stadion, dll--- bernilai proyek. []
No comments:
Post a Comment