Cerpen: Firdaus Abie
“Pergi dulu, bu,” kataku sembari menyelipkan sumpitan tua peninggalan ayah ke balik baju bagian
belakang.
“Apa semuanya sudah beres?”
“Beres, bu, bahkan sumpit ini sudah pula kubersihkan kemarin. Pokoknya
dijamin tak bakalan macet lagi seperti kemarin itu,” jelasku mengeluarkannya
kembali dari balik baju tersebut yang kuiringi dengan memukul-mukulkan lembut
ke telapak tangan kiriku.
”Hati-hati, ya” sambung ibu
setengah berteriak padaku.
”Beres, bu”
Lalu kutelusuri jalanan setapak
menuju hutan Alam dengan langkah-langkah pasti. Siulan kecil selalu setia
menemani setiap saat perjalananku menuju tempat yang direncanakan. Kalau telah
dower mulutku berdendang, kucoba untuk berhenti sejenak dan kemudian kembali
bergema slulan-slulan kecil nan ditemani desahan pepohonan yang menari-nari
bergemulai ditiup sang bayu dan iringan melodi syahdu kicauan burung-burung
yang berberbangan, bergelantungan dari satu dahan ke dahan yang lain.
Aku senang dapatkan yang
begitu berharga dalam hidupku, dalam setiap langkahku menjalani hari-hari dari
satu hutan ke hutan lain demi perburuan.
Tak terasa waktu begitu cepat berlalu.
setengah harian telah kulewati tanpa sadar. Aku semakin jauh masuk ke dalam
hutan yang berarti semakin jauh pula meninggalkan rumah. Meninggalkan rumah. Meninggalkan
segala sumber kehidupanku. Di sana tempat berteduh, berdiang di kala dingin,
mendapatkan segalanya dari ibu.
”Kau mesti menyadari, hidup
ini tidak gampang. Walau kita jauh di tengah hutan terpisah dari kehidupan
orang banyak, namun kita juga butuh mereka. Tak selamanya kita dapat hidup
sendirian tanpa bantuan mereka. Kau mesti tahu, roda kehidupan yang bergilir
dari waktu ke waktu senantiasa menanti manusia-manusia nan lalai dalam melewati
kehidupan itu sendiri dan kemudian roda-roda itu kan menggilas orang-orang yang
lalai tersebut. Kau masih ingat bukan dengan kata kata almarhum ayanmu,
kehidupan manusia tak obahnya dengan sebongkah karang yang berdiri kokoh di
pesisir sebuah pantai. Walau ia terpisah dari yang lain, namun suatu saat ia akan
roboh dan ambruk digerogoti keganasan air laut yang sepanjang masa mengusiknya
bersama desahan angin serta badai. Begitu juga dengan kita, walau kita telah
hidup peneh kesederhanaan suatu saat semua itu akan luntur dan kita sendiri
akan ambruk. Nah, sekarang saja secara perlahan kita telah rasakan keruntuhan
itu. semenjak ayahmu pergi untuk selamanya buruan yang kira perloleh sedikit
berkurang. Camkalah...!” kata-kata itu demikian selalu terngiang-ngiang di
telingaku apalagi setiap kali aku berburu dan kata-kata itu seakan punya magnet
yang kuat dalam memompa semangat hidupku.
Kusandarkan tubuh melepas
lelah di sebatang pohon beringin nan cukup rindang. Angin berhembus lembut
membuai diriku, antarkan kesegaran. Kujulurkan kaki dan bersamaan dengan itu pun kicauan punai-punai
saling bersahutan menyibak kesunyian hutan. Aku tertegun begitu tahu asal suara
punai-punai itu. Tak hanya punai yang bertengger penuh kedamaian di beringin
tersebut tapi juga ada seekor burung berlainan jenis dengan kelompok punai
punai itu
Aku tak tahu jenis burung yang
satu itu. Baru kali ini aku menjumpainya. Bulunya cantik sekali. Tak terlalu
berlebihan jika dibandingkan dengan burung-burung yang lain yang pernah aku
kenal. Aku suka dengannya bersamaan dengan keinginan untuk memilikinya. Kupersiapkan
sumpitan dan beberapa detik kemudian peluru sumpitan pun meluncur cepat ke arah
burung itu dan kena...! burung itu pun jatuh.
Dengan langkah tergesa-gesa
kuhampiri tempat jatuhnya burung itu dan segera menibak rerumputan untuk mecari
burung hasil buruan sumpitan tua. Lama juga aku mencarinya. Hasilnya, buruan
itu berhasil aku jumpai.
Ku genggam burung itu. Aku semakin
heran, baru kali ini aku berjumpa dengan burung yang seperti dalam genggamanku
kali ini. ”Oh kasihan, jantungnya tembus tempat bersarangnya anak sumpitan yang
lumayan runcing. Sayapnya dikibas-kibaskan, suaranya masih tetap bekicau dengan
lembut dan syahdu. Jauh lebih lembut dan syahdu dari kicauan burung-burung yang
lain. Kasihan...” kataku
membatin dalam hati. Kuperiksa dengan teliti sekali, bertina.
Tiba-tiba tanpa kusadari
burung itu terlepas dari genggamanku. aku lengah dan burng itu pun terbang
dengan gesitnya meninggalkan genggamanku. Aku terkejut. Burung itu pun segera
kembali bergabung dengan punai punai yang masih setia bertengger di beringin
itu. semuanya berkicau, keras sekali kicauan itu yang seakan bersorak merayakan
kebebasan teman mereka dari tanganku.
Aku semakin heran tak mengerti,
”kok burung-burung itu tak segera terbang menjauh meninggalkan diriku bersama
tempat ini? Padahal tadinya salah satu diantara mereka sudah terancam
keselamatannya dan tidaklah mereka takut dengan bahaya yang lain?” tanyaku
keheranan.
Kutatap burung-burung yang
masih berkicau itu lalu kukeluarkan kembali sumpitan beserta anaknya,
kemudian...? Aku tertegun segera niat itu kuurungkan. Tak ada lagi keinginan di
hatiku untuk menembaknya. ”ia bukan jodohku karena telah terlepas dari tangan,”
pikirku dan kemudian burung-burung itu pun terbang menjauh dariku dan dari
sasarn sumpitanku.
Aku pun kemudian melangkah meninggalkan
tempat semula dan terus menembus kesunyian hutan yang telah begitu akrab dengan
diriku, Walau berjalan sendirian di tengah hutan aku tak merasa takut mau pun gentar
sedikit pun jua.
”Seorang pemburu harus berjiwa
pemberani, bila perlu nekad,” itu yang sering diingatkan ayah padaku sebelum
beliau menghembuskan nafasnya menuju peristirahatan terakhir.
Kugosok-gosok lubang hidung ku
berkali kali menyakinkan penciumanku, tak salah lagi, bau seekor rusa betina.
Kuamati dengan seksama perhitungan gembari memasang kuping baik-baik mencari asal
di mana rusa itu berada dengan berjalan sambil mengendap-endap
Benar. seekor rusa betina
engah beristirahat di bawah sebatang pohon yang sangat rindang sekali.
”Rezeki besar aku hari ini. Ibu pasti senag dengan hasil buruanku, tubuhnya
berisi, gemuk dan kekar. Mulutnya itu, duh... mungilnya. Aku suka,” bisikku perlahan
bersamaan dengan memasukkan beberapa peluru ke dalam sumpitan dan bersiap untuk
menghembuskan nya. Tapi mendadak ada bunyi kresek... kresek...kresek. Bunyi
ranting dan daun kering yang terinjak. Rusa itu pun segera berdiri dan lari
dengan cepatnya.
Kuperhatikan arah suara itu,
ternyata seekor lagi. Rusa betina itu pun menghampiri yang baru datang dengan
berlari. Rusa itu sangat gesit melompati rintangan-rintangan. alam yang
menghalangi langkahnya.
Sebentar saja rusa betina itu
sampai dekat yang baru datang dan mengulurkan lidahnya. Ada apa ini? Oh, ia
minta buah-buahan yang dibawa rusa yang satu itu. Mesra, mesra sekali
pemandangan ini. Ternyata semenjak tadi ia menantikan makanan yang dibawa rusa
jantan itu. Yah, tak salah lagi yang baru datang itu pastilah rusa jantan. Aku tahu
betul perbedaan nya. Bukan saja perbedaan
rusa rusa itu, tapi seluruh binatang aku tahu hingga semut yang kecil
sekali pun. Semua ini kuketahui dari ayah. Aku berkata sendirian.
Aku tertegun, sebentar
kuperhatikan tingkah sepasang rusa itu. Mesra sekali mereka berlarian
berkejaran mengelilingi pohon nan rindang di hadapan mereka tanpa menyadari
sebuah bahaya mengancam keselamatan mereka. Bahaya itu datang dari ujung
sumpitanku!
setelah puas berlarian mengelilingi
rintangan alam menyusuri rimbunnya perpohonan si betina meninggalkan sang
jantan yang tersandar sendirian di sebatang pohon, yang bagian atasnya gersang
sedangkan si betina terus berjalan dengan santainya ke arah selatan, kuikuti
perjalanannya dengan hati hati dan mengendap-endap. ia menuju sebuah telaga
berair bening dan kemudian menyebur di sana. senang sekali kelihatannya.
Tak lama kemudian sang jantan
pun menemaninya menceburdi telaga yang berair sejuk itu sembari tersenyum
menikmati kemesraan yang tiada taranya. Seandainya mereka menyadari bahaya yang
mengancam ini, tentu mereka telah pergi dan segera menjauh, pikirku dalam hati.
Aku berpikir, inilah
kesempatan terbaik bagiku untuk melepaskan tembakan sumpitan. akan kusumpit
yang betina saja karena aku lebih suka dengannya yang memiliki postur tubunya
jauh lebih baik dari yang jantan. Pasti ibu akan senang dan bangga sekali dengan
hasil dengan hasil yang aku bawa pulang hari ini. Sejumlah peluru pun kumasukkan
ke dalam sumpitan dengan maksud memberikan tembakan yang beruntun. Ketika aku hendak meniup, tiba-tiba tiupan
itu seakan tertahan. Aku tak tega. Kupungut kembali isi sumpitan itu dan
terhenyak dalam ketermenungan.
Tiba-tiba aku merasakan sesuatu
mengalir dalam deriku dengan deras sekali. Dadaku berdebar tak karuan, denyur
nadiku bergetar dengan sangat deras sekali. aku tak tega mengusik kemesraan
kalian yang telah terjalin selama ini. suatu nilai dosa, yang tak terhingga
bagiku memisahkan hubungan kalian. Aku kini
sadar, kehadiran diriku yang baru ini tak ingin untuk mengganggu kalian
lagi. Maafkan aku, sekarang
berbahagialah kalian walau
hubungan kalian itu berawal dari sebuah telaga. Aku yakin kemesraan ini akan
tetap berlanjut hingga akhir nanti. Lihatlah air telaga nan bening, sejuk dan
menyiramkan kedamaian bagi kalian. Berbahagia dan bersatulah kalian untuk
selamanya. Aku tak akan lagi datang mengganggu kalian. Mulai detik ini kukubur habis
habis harapanku untuk menjadi seorang pemburu, akan kucoba menyeret langkah itu
menuju negeri orang yang bukan berada dalam hutan.
Kucoba dengan apa yang
kumiliki untuk mendapatkan yang lain dari pada berburu. ”Hanya satu permintaanku
pada kalian, izinkanlah sewaktu-waktu aku datang lagi ke mari untuk menjumpai
kalian, menengok jalinan kemesraan di masa masa yang akan datang. Selamat
tinggal....” desahku sambil melangkah meninggalkan
sepasang rusa nan tengah bermesraan dalam cinta dan kasih sayangnya.
(Kado
Ultah toek Some One di Khabasceman. Menjelang senja 22-23 Feb 1992).
Catatan:
Cerpen ini dimuat Harian Haluan.
No comments:
Post a Comment