Oleh: Firdaus
Pada banyak kejadian, biasanya
pengawasan baru dilakukan setelah peristiwa buruk terjadi. Pengawasan ketat
dilakukan, terutama sepanjang masyarakat masih memberikan perhatian kepada
kejadian tersebut. Setelah itu, dalam kurun waktu tertentu, biasanya tak lebih
dari tiga bulan sejak peristiwa buruk terjadi, maka situasinya akan normal
kembali.
Sejumlah fakta terbentang. Masih
segar dalam ingatan, ketika seorang pilot sedang nyabu di kamar hotel, lalu dilakukan tes urine pada banyak pilot.
Ketika terjadi perkosaan di atas metromini di Jakarta, aksi “pembersihan”
angkutan sejenis yang menggunakan kaca film gelap pun dilakukan di seluruh
Indonesia. Ketika kejahatan dilakukan gang motor di Bandung, razia para “gang”
motor pun serentak dilakukan di seluruh Indonesia.
Di Sumbar, ketika ada aksi tari telanjang di sebuah kafe di Padang, langsung diikuti dengan razia di sejumlah tempat untuk memantau penyalahgunaan izin kafe. Di saat masih segar dalam ingatan masyarakat tentang longsor di Kecamatan Simpang Tigo Alahanmati, Kabupaten Pasaman, langkah “pengawasan” pun dilakukan untuk melihat kondisi di kawasan Panti.
Selama ini, sangat jamak terjadi
kalau jika ada sebuah persoalan, terutama berkaitan dengan lingkungan, maka masyarakat
akan alasan untuk dikambinghitamkan. Kerusakan akibat ulah masyarakat.
Kerusakan karena kelalaian masyarakat. Masyarakat yang mana? Entah! Persoalan
hutan sangatlah kompleks. Masyarakat berladang, orang bagak menebang. Kalau pun masyarakat (kecil) yang menebang,
tetapi mereka hanya buruh yang menerima upahan.
Inilah dilematisnya. Negeri yang katanya sudah maju, transportasi
dan komunikasi sudah sedemikian canggih, ternyata para aparaturnya masih sering
kecolongan. Kawasan Panti hanya-lah satu contoh kecil. Di negeri yang penduduknya tergolong ramai, ternyata bisa
kecolongan begitu saja. Hutan lindungnya sudah rusak. Siapa yang merusak? Tak
adakah yang tahu? Kemana saja masyarakatnya? Dimana saja aparatur pemerintahannya?
Mungkinkah masyarakat tutup mata karena mereka menggantungkan hidup di hutan
itu, ataukah aparaturnya tutup mata dan tutup kuping karena ada kekuatan yang
lebih kuat dari kekuatan yang mereka miliki?
Inilah keanehan di negeri ---yang
katanya--- beradat ini. Kepedulian hanya dipertontonkan sesaat setelah sebuah
musibah terjadi, itu pun cenderung berbau jualan politis atau sekadar ambiak muko kalau yang bersangkutan
sudah bekerja.*
CATATAN: Tulisan ini dimuat di Harian Umum RAKYAT SUMBAR, edisi Senin 26 Maret 2012
No comments:
Post a Comment