Oleh: Firdaus
Kini namanya Ujian Nasional (UN). Hari ini, sudah dua hari UN tingkat
SLTP dilaksanakan. Pekan lalu, UN SLTA. Sebelum bernama UNi, namanya Ujian
Akhir Nasional (UAN). Sebelumnya lagi, Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional
(Ebtanas). Sebelumnya lagi, Evaluasi Belajar Tahan Akhir (Ebta).
Apa yang berbeda? Seorang teman saya semasa es em a dulu yang kini menjadi guru, menyebutkan; substansinya
tak berbeda, tetapi “entertainment”-nya yang seakan dikondisikan.
Maksudnya?
Substansi dimaksud, perihal lulus atau tidaknya seorang siswa ditentukan oleh nilai pada bidang studi tertentu, yang diujiankan selama UN tersebut. Bagaimana nilai lain, seakan “tidak dianggap” jika nilai UN jeblok. Dinyatakan lulus jika nilai rata-rata bidang yang diujiankan; 5,5. Nilai rata-rata ini lebih tinggi dibandingkan semasa kami sekolah dulu.
Di sinilah letaknya mata pelajaran lain seakan “tidak dianggap” jika
sudah berurusan dengan ujian akhir. Padahal selama pendidikan berlangsung,
pelajaran lain tetap diberikan, malahan jam pelajarannya ada yang lebih panjang
dibandingkan dengan bidang studi yang diujiankan.
Di sisi lain, jika dirasakan apa yang terjadi pada masa lalu dengan
kondisi hari ini, seakan pada pelaksanaan kali ini, seakan UN merupakan sosok
yang menakutkan, sehingga sepanjang waktu, setiap orang, terutama pelajar dan
orang tuanya sangat mencemaskan keberadaan UN. Takut anak-anak mereka tidak
lulus.
Kecemasan dan ketakutan juga menghinggapi “operator pendidikan” dalam
hal ini Dinas Pendidikan di berbagai daerah. Kecemasan mereka, jika banyak anak
didik mereka tak lulus, seakan nasib mereka sudah berada di ujung tanduk.
Begitu pun jika nilai anak didiknya kalah bersaing dengan sekolah lain. Apalagi
jika label Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) sudah melekat di
belakang nama sekolahnya, maka, “kiamat”-lah mereka.
Saya teringat seorang kawan ketika akan menghadapi Ebtanas dulu. Esok
pagi ia harus menjalani Ebtanas, sementara malamnya dia masih melaksanakan
ronda malam, menggantikan orang yang seharusnya ronda. Jika ia tak menggantikan
orang, maka, ia tidak akan memiliki uang untuk ongkos pergi ujian besok.
Seminggu Ebtanas, ia harus menjalani tiga malam menerima upah ronda.
Tidak cemaskah ia tidak akan lulus? Yang pasti, kecemasan itu tetap
ada. Orang tuanya juga cemas kalau anaknya tak lulus. Hanya saja, ia menjalani
semuanya dengan tenang, tidak panik, lingkungannya ---termasuk guru dan pihak
sekolah--- juga berupaya untuk menghadirkan kedamaian dan ketenangan di
lingkungannya.
Kenyataan hari ini, seakan berbeda. Sejumlah sekolah dan berbagai kalangan
pendidikan seakan berupaya “mengkondisikan” betapa menakutkannya UN. Malahan di
sejumlah sekolah sengaja melaksanakan acara tertentu yang kemudian semakin
menambah kecemasan para siswa. Awalnya memang dimaksudkan agar para pelajar
tetap ingat pada Allah. Tak ada yang salah dari maksud acaranya, namun kemudian
kemasannya seakan menjadi lain. Para pelajar semakin panik dan takut. Tak
jarang acara tersebut berujung bertangis-tangisan.
Tiba-tiba saya teringat pesan bijak orang bijak; apa yang kita
pikirkan, itulah jadinya. Artinya, jika “operator pendidikan” dan lingkungannya
sudah panik, anak-anak pun panik, maka dapat dipastikan; hasilnya adalah sebuah
kepanikan. Pendidikan yang panik.
Duh, panik….! Eh, jangan panik! []
No comments:
Post a Comment