Diera 1980-han dan 1990-han, ada pameo yang sangat populer, yakni peragawan kehilangan pentas. Ada juga istilah, peragawati kehilangan pentas. Pameo itu ditujukan kepada mereka yang bergaya dan berlenggak-lenggok bak peragawan atau peragawati, namun melangkahnya bukan di catwalk.
Menurut Kamus Bahasa Inggris Terjemahan Indonesia, arti kata catwalk memiliki dua makna, yakni pertama adalah jalan sempit di jembatan. Kedua, bermakna sebagai panggung pertunjukan busana.
Terkait pameo peragawan atau peragawati kehilangan pentas dilontarkan karena apa yang dilakukan tidak pada tempatnya. Peragawan atau peragawati sejatinya memperagakan busana di sebuah panggung yang ditata sedemikian rupa, kemudian penonton duduk manis di sepanjang panggung yang akan dilalui. Posisi pentas tersebut lebih tinggi dari posisi penonton yang menyaksikan.
Salah satu aspek yang wajib dipenuhi dari peragaan busana tersebut adalah, penonton harus benar-benar bisa menikmatinya dengan tenang, damai tanpa gangguan sedikit pun, sebab mereka akan menilai dan menjadikan busana yang ditampilkan sebagai acuan untuk hari-hari berikutnya. Keliru memilih, tentu akan memiliki dampak tersendiri.
Citayam Fashion Week kemudian membuat geger Indonesia. Aksi peragaan busana di kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat, memanfaatkan zebra cross, mendadak mengundang banyak orang datang ke sana. Menjadi buah bibir di negeri ini. Menghadirkan model baru yang laris mendapatkan order penampilan busana atau endorse.
Tak sampai di sana, pejabat sejumlah daerah juga ikut hadir di sana. Tampil menjajal “catwalk” dengan membawa busana dari daerahnya. Citayam benar-benar ramai. Demam peragaan busana ala Citayam menjalar ke berbagai daerah di Indonesia. Termasuk ke Bukittinggi dan Pariaman. Ketika demam itu menjalar, eh, Citayam Fashion Week justru sudah dibubarkan.
Ketika di Citayam dibubarkan, lalu di daerah lain justru difasilitasi, dari sinilah sebuah kebingungan muncul. Kok difasilitasi dengan tetap meniru apa yang dilakukan di Citayam Fashion Week?
Citayam Fashion Week berangkat dari inisiatif anak muda, lalu karena telah menyalahi aturan, lalu dibubarkan. Anehnya, ada daerah yang melakukan pembiaran? Dimana logika berpikirnya?
Terlepas dari upaya untuk meningkatkan produk lokal dan sebagainya, bukankah aktivitas tersebut dilakukan bukan pada tempatya? Peragaan busana tersebut menggunakan Zebra Crossing atau Zebra Cross yang merupakan tempat penyeberangan orang di jalan yang ditandai dengan garis hitam putih di jalan. Zebra crossing artinya penyeberangan pejalan. Penyeberangan pejalan adalah lajur dengan tanda setrip putih pada jalan tempat pejalan kaki menyeberang jalan.
Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan, garis utuh yang membujur tersusun melintang jalur lalu lintas atau zebra cross adalah marka untuk menyatakan tempat penyeberangan bagi pejalan kaki.
Kegiatan dengan memanfaatkan Zebra Cross, jelas-jelas telah mengganggu pengguna jalan, apalagi jika kondisinya ramai. Aktivitas tersebut telah menyalahi fungsi Zebra Cross. Penyalahgunaan tersebut termasuk sebuah pelanggaran yang bisa dikenai pidana.
Menurut Pasal 274 ayat 1, pasal 275 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, disebutkan, setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi jalan, rambu, marka jalan dan lain-lain dapat dipidana. Itu bunyi pasal 274 ayat 1, pasal 275 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Nah, kan?
Kalau mau difasilitasi juga, yuk, carikan tempat dan waktu yang tepat. Kegiatan, kreativitas tetap berlangsung, orang tidak terganggu. Tidak pula melanggar aturan. *
No comments:
Post a Comment