Sebuah Surat Edaran dari Bupati Pasaman dikeluarkan. Surat bernomor 030/MB/Aset-Akt/Bakeuda/2022, isinya tentang pengunaan kendaraan dinas milik Pemerintah kabupaten Pasaman.
Isinya, menyangkut tertib pengelolaan dan penggunaan kendaraan dinas di lingkungan pemerintah, diantaranya melakukan penertiban penggunaan kendaraan dinas yang berada pada lingkungan kerja di seluruh SKPD Pasaman. Menetapkan Surat Keputusan Kepala SKPD/Organisasi tentang Penunjukan Pemakai Kendaraan Dinas di lingkungan kerja, dan penunjukan Pemakai Kendaraan Dinas mempertimbangkan jabatan, tugas pokok dan fungsi dari pegawai yang akan menggunakan kendaraan dinas.
Pegawai yang ditunjuk untuk memakai kendaraan dinas, harus memenuhi kriteria seperti memiliki SIM A/C, membayar retribusi sesuai peraturan dan ketentuan berlaku, serta melengkapi fisik kendaraan sesuai ketentuan seperti kaca spion dan plat nomor polisi.
Penggunaan kendaraan dinas hanya diperbolehkan untuk kepentingan dinas serta tidak untuk hal-hal yang sifatnya di luar kewajaran, terutama untuk kepentingan pribadi seperti, pergi ke kebun, memancing, dan sebagainya. Kendaraan dinas tidak dibenarkan dipergunakan selain oleh pegawai yang ditunjuk untuk memakai kendaraan dinas, termasuk anggota keluarga.
Bicara tentang kendaraan dinas dan penggunaannya, selalu saja menarik. Tak akan pernah habis perdebatan soal kendaraan dinas tersebut, namun ada sebuah pertanyaan, apakah setelah surat edaran keluar, akan ditindaklanjuti dengan pengawasan yang lebih serius?
Banyak daerah mencoba untuk menertibkan kendaraan dinas, namun tindak lanjut pengawasan cenderung lemah, lalu kemudian kebijakan tersebut bagaikan terbang dibawa angina begitu saja. Sampai sejauh ini, belum terdengar ada daerah yang benar-benar memberikan pengawasan ketat terhadap mobil dinas, sehingga tidak mengherankan jika pada hari libur, banyak mobil dinas di parkiran mall, pusat perbelanjaan atau pun pasar-pasar tradisional.
Sudah menjadi rahasia umum, jika mobil dinas milik pemerintahan digunakan multifungsi. Tak hanya untuk keperluan dinas sang pejabat, tetapi juga untuk aktivitas sehari-hari keluarganya. Termasuk untuk jemput antar anak, atau isteri.
Jika memang ingin menertibkan kendaraan dinas, mengapa tidak ditindaklanjuti saja dengan aturan ketat penggunaan kendaraan dinas. Tidak hanya sekadar memberikan imbauan begitu saja. Misalnya, kendaraan dinas tidak boleh dibawa pulang. Penggunaanya dijemput antar oleh sopir dinas, lalu mobilnya dibawa kembali ke kantor. Atau, pergi dan pulang dari kantor dengan kendaraan sendiri. Setiap libur, kendaraan tetap berada di kantor. Tidak boleh dibawa pulang.
Ketika Gamawan Fauzi menjadi Gubernur Sumbar, ia pernah menerapkan aturan tersebut. Malahan disaat lebaran, pejabatnya tak boleh membawa mobil dinas. Aturan Gamawan Fauzi di provinsi, berbeda dibandingkan saat Fauzi Bahar menjadi Walikota Padang. Ia memberikan izin pejabatnya untuk tetap membawa kendaraan dinas pulang, mau pun untuk aktivitas dimasa libur lebaran.
Ketetapan tersebut bukan tanpa alasan. Kebijakan tersebut ditujukan agar pejabatnya dapat menikmati lebaran dengan tenang, sekaligus hal tersebut sebagai bagian dari apresiasi kepala daerah kepada aparaturnya yang telah memberikan pengabdian terbaik.
Lalu pertanyaannya, Bupati Pasaman mau pun metode yang seperti apa? Mengikuti yang pernah dilakukan Fauzi Bahar? Rasanya tidak, sebab imbauannya sudah ada pembatasan. Mengikuti yang pernah dilakukan Gamawan Fauzi? Konsekwensinya harus benar-benar fokus mengurusnya. Atau, hanya sekadar “gertak sambal” imbauan saja? *
No comments:
Post a Comment