Di antara kelebihan menulis, bisa dikerjakan di mana saja. Dapat
dilakukan kapan saja. Saya yakin, semua
orang bisa memahaminya. Tapi ketika
membaca tulisan Mas Aqua Dwipayana
tentang Mas Santoso, seorang wartawan
senior yang saat ini berjuang melawan stroke yang menyerangnya, justru semakin
membuka mata kita dan mengingatkan saya pada dua hal penting.
Tulisan yang dibagikan Mas Aqua di Komunitas Jari Tangan,
dikisahkan bagaimana seorang wartawan senior Jawa Pos, menderita stroke. Sempat
putus asa dan depresi, Mas Santoso kemudian bangkit. Ia menulis. Terus menulis.
Menulis terus.
Ia kemudian menulis sebuah buku. Buku yang ditulis tak jauh
dari aktivitas yang sedang dihadapinya. Bukunya berjudul, Melawan Stroke.
Dicetak secara mandiri pada Agustus 2020. Kini ia mempersiapkan buku
berikutnya, My Wife My Treasure, berisi tentang apresiasinya terhadap kesetiaan
dan kegigihan isteri mendampinginya, terutama disaat stroke.
Buku pertama, laris manis. Hasil penjualan bukunya bisa untuk membayar kontrakan yang ditempatinya. Buku My Wife My Treasure ditargetkan cetak pada September 2021. Targetnya, untuk kontrakan rumah berikutnya.
Lalu, apa dua hal penting yang ingin saya sampaikan?
Pertama, bagi saya, ini sebuah referensi hebat. Jika
sebelumnya, kehebatan menjalani aktivitas menulis bisa dilakukan kapan saja dan
di mana saja, kini harus ditambah satu lagi. Bisa dilakukan dalam keadaan apa
saja. Sehat, gembira, sedih, dan sakit. Dibandingkan keadaan Sehat, gembira,
sedih, maka keadaan paling sulit dan rumit adalah disaat sakit. Apalagi dalam
kondisi stroke. Terjadi pelemahan
terhadap sebagian organ tubuh.
Tak banyak kegiatan yang bisa dilakukan orang dalam keadaan
sakit, apalagi kegiatan tersebut berpengaruh besar dalam upaya mempertahankan
diri dan keluarga. Buku yang dihasilkan Mas Santoso justru dijual untuk
membayar kontrakan rumahnya.
Di sisi lain, apa yang ditulis Mas Santoso, bisa dijadikan
inspirasi oleh siapa saja, terutama bagi mereka yang beranggapan menulis itu sulit, atau selalu menghabiskan
hari-harinya untuk mencari ide tulisan. Katanya, jangankan untuk menulis
materinya, idenya saja sulit didapatkan. Lalu mereka mencari hingga jauh,
bahkan ada yang melakukan “ritual” perjalanan dan sebagainya.
Pada setiap kesempatan memberikan pelatihan atau workshop
menulis di berbagai tempat, saya selalu sampaikan langkah sederhana; tulislah
apa yang ada di lingkungan kita. Tulislah apa yang dekat dengan keseharian
kita. Keseharian kita yang selama ini dianggap sebagai hal yang biasa, tetapi
bisa saja orang lain, atau komunitas tertentu bisa saja memandang hal tersebut
sebagai sesuatu yang luar biasa.
Mas Santoso membuktikan kepada kita semua. Melawan Stroke,
itu judul buku beliau. Judulnya langsung
ke sasaran. Jika dihitung, pasti sangat
banyak orang berjuang melawan stroke. Berbagai
cara dilakukan agar mereka bisa bangkit dan sembuh. Mungkin banyak yang
memiliki cara hebat, cara praktis, namun karena tidak dituliskan, tidak ada
yang tahu.
Saya belum membaca bukut tersebut. Tapi dari judulnya saja,
saya menduga buku Mas Santoso tentulah
berisi tuntutan dan cara-cara yang dijalani beliau menghadapi stroke, sehingga
saya memiliki asumsi bahwa buku ini akan menjadi buku “abadi” dan berguna sepanjang masa,
khususnya bagi orang-orang yang kena stroke.
Beriring sejalan, buku lanjutan yang sedang dipersiapkannya, My Wife My Treasure, berisi tentang
apresiasinya terhadap kesetiaan dan kegigihan isteri mendampinginya, terutama
disaat stroke, adalah panduan hebat untuk kekokohan pasangan dalam melayani
pasangannya disaat-saat menghadapi ujian berat tersebut.
Hebat. Disaat berjuang melawan, stroke, beliau masih bisa
menulis. Ternyata, menulis bisa dilakukan dalam situasi dan kondisi kesehatan
apa pun.
Kedua, menulis adalah obat. Saya menyimpulan demikian karena
teringat pada dua kejadian lain, beberapa tahun silam.
Seorang wartawan senior Kompas asal Sumatera Barat, Martias
Duski Pandoe, yang sehari-hari disapa Pak Pandoe, pernah menjalani hal
tersebut. Dihari tuanya, beliau diserang stroke. Yuniornyo, Sutan Zaili Asril,
saat itu menahkodai Harian Pagi Padang
Ekspres, mengundangnya untuk terus menulis. Akhirnya beliau menulis setiap
Minggu di Padang Ekspres. Ketika itu, Pak Pandoe berusia 75 tahun.
Seorang wartawan senior lain, Sjafri Segeh yang pernah
menjadi Pemimpin Redaksi Haluan, koran terbitan Padang, dihari tuanya juga
tetap menulis. Katanya suatu ketika kepada penulis, selain untuk terus
menyalurkan pikiran kita kepada publik, juga untuk mengasah otak agar jangan
cepat pikun.
Semoga buku Mas Santoso berjudul My Wife My Treasure segera
terbit menyusul Melawan Stroke dan bisa laris manis di pasaran. Salam salut
dari yunior, Mas!*
No comments:
Post a Comment