Oleh: Firdaus Abie
Saya “mendapatkan” lima kali “drama” pemilihan Ketua Umum
KONI Provinsi Sumatera Barat.
Pertama, tahun 2000. Ketika itu, pasca PON XV di
Surabaya, seluruh pemangku kebijakan olahraga di Sumbar menuntut agar dilakukan
(ketika itu masih bernama) Musyawarah Olahraga Daerah Luar Biasa (Musyordalub)
KONI Sumbar.
Dasar tuntutannya, pertama; prestasi Sumbar saat PON di Surabaya, sangat buruk. Berada di urutan dua terbawah. Posisi ke 26 dari 27 provinsi. Kedua; jika Musda dilakukan lebih awal dengan durasi masa bakti empat tahun, maka Musda berikutnya dilaksanakan setiap selepas PON. Artinya, setiap satu periode kepengurusan, menjadi “kewajiban” untuk mengurus dan membenahi olahraga Sumbar minimal untuk satu kali Pekan Olahraga Wilayah (Porwil), Kejuaraan Nasional Pra PON, dan PON. Kepengurusan masa itu, dan masa sebelumnya dimulai kurang dua tahun jelang PON, sebagai puncak supremasi olahraga daerah di kancah Nasional.