Karyawan Penerima Umroh Paragon
Technology and Innovation:
Oleh: Rita Arin – Depok
Tak pernah terlintas
sedikit pun, mualaf yang baru belajar tentang Islam, tiba-tiba dapat panggilan
menunaikan umroh ke Tanah Suci. Aku tak pernah membayangkan, umrohku dibiayai
kantor. Allah memang memiliki rahasia yang tak seorangpun bisa memprediksinya.
Namaku Rita Arin. Aku
bisa dipanggil Arin. Aku bungsu dari
empat bersaudara. Tinggal di Grobogan,
Jawa tengah. Ayahku pegawai PT KAI, di sebuah
stasiun kereta. Ibuku seorang ibu rumah tangga. Beliau membantu
ekonomi keluarga dengan berdagang keperluan
yang dibutuhkan tetangga.
Aku dari kecil beragama
Katolik. Aku tak mengerti mengapa hanya keluargaku yang beragama Katolik,
sementara keluarga besar ibu semuanya muslim. Aku tak mengenal lebih dalam
keluarga ayah. Kata ayah, keluarga beliau sudah lama meninggal dunia. Hanya ada
keponakan, itu pun kami jarang bertemu.
Perbedaan agama di
keluargaku dengan keluarga ibu, ketika aku kecil, tak membuatku bingung. Aku
senang-senang saja. Saat perayaan Natal, aku merayakannya. Saat Idul Fitri, aku
juga merayakan. Dimasa kanak-kanak itu, aku merasa senang saja karena bisa
merayakan dua hari raya.
Saat aku kelas III SD,
ayahku meninggal dunia. Begitu cepat ayah meninggalkan kami. Sejak itu, aku
dibesarkan ibu. Di rumah, aku seperti anak semata wayang. Kakakku tertua
sudah menikah dan merantau ke Jakarta. Kakakku kedua, merantau ke Jakarta dan
akan menikah. Kakakku ketiga, satu-satunya laki-laki, sekolah di SLB. Ia
menetap di asrama sejak kecil karena terlahir down sindrome.
Ibu selalu berusaha
memberikan yang terbaik untukku. Perubahan terjadi disaat aku kelas III SMA.
Ibu menderita strok ringan. Sejak itu, terasa ada perubahan dalam keseharianku.
Ibu tak bisa lagi berjualan. Perekonomian kami hanya mengandalkan uang pensiun
ayah.
Aku terus berjuang
untuk menggapai prestasi, demi agar bisa menyenangkan ibu. Aku selalu dapat
rangking III. Aku ingin melanjutkan kuliah, tapi keinginan itu pupus karena
kondisi ibu terus memburuk. Jika aku kuliah, maka uang pensiunan ayah akan
habis untuk biaya kuliahku. Aku juga tak mau terlalu berharap menunggu kiriman
kakak karena mereka juga punya kewajiban terhadap keluarganya.
Berbekal nilai UN-ku
yang memuaskan, akhirnya aku memutuskan pindah ke Jakarta bersama ibu dan
abangku yang di SLB. Kami berharap bisa dekat dengan kakakku, sehingga kami
bisa merawat ibu bersama. Sesampai di Jakarta, aku bingung terhadap masa
depanku. Apa yang harus aku lakukan di Jakarta?
Kakakku menyarankan
agar aku bekerja dulu. Jika kuliah, akan memberatkan. Aku akhirnya diterima di
PT Sanyo di kawasan Cimanggis. Aku bisa masuk ke sana dibantu saudara kakak
iparku. Awalnya aku merasa lelah bekerja di sana, sebab bekerja di pabrik
bekerja secara shift. Kadang masuk malam, pulangnya pagi.
Aku tepis rasa lelah
itu dengan harapan setiap bulan. Aku menerima gaji yang tergolong besar. Aku
akhirnya menikmati pekerjaan dan gaji yang lumayan. Tanpa aku sadari, ternyata
keseharianku sangat boros. Aku tak pernah berpikir untuk menabung. Gaya hidupku
mengikuti trend. Aku lupa untuk melanjutkan cita-cita untuk kuliah.
Hari-hariku, selain pergi kerja, aku ada di salon, mall, restauran. Begitu
setiap hari. aku lupa memikirkan masa depan.
Kakakku mengingatkan
agar aku menabung. Jika tak bisa menabung uang, bisa dibeli sepeda motor. Aku
turuti nasehat kakakku tersebut. Ketika cicilan motorku memasuki angsuran ke
12, ternyata kontrakku tidak diperpanjang, berawal dari tidak hadirnya aku ke
pabrik selama seminggu karena terserang tifus.
Kerja di perusahaan
Jepang ini, sistemnya menggunakan point. Jika tidak masuk, sekali pun alasannya
sakit, selalu diberi point. Semakin banyak point yang didapat, semakin buruk
penilaian kinerja.
Sejak kontrak tidak
diperpanjang, aku mulai menghadapi kesulitan. Kucari kerja ke sana kemari, tapi
aku selalu ditolak. Aku bingung bagaimana cara mencicil sepeda motor. Aku takut
menyampaikan kepada kakakku. Aku takut mereka marah karena aku tak bisa
mengelola uang secara benar ketika masih kerja dulu. Belum sempat aku menemukan
jawaban untuk membayar cicilan motor, ternyata motorku dicuri orang di
parkiran. Aku panik, bingung.
Musibah berikutnya
kembali menghinggapiku. Aku juga harus berpisah dengan lelaki yang sangat aku
cinta. Aku sebenarnya berharap, ia menjadi jodohku, tapi ia pergi begitu saja.
Aku yakin, ia meninggalkanku karena perbedaan agama yang kami anut.
Entah kenapa, sejak
kejadian itu, aku kehilangan arah. Aku panik dan kalut. Tapi aku tetap bisa
menjaga diri. Aku tak mau terjurumus ke jurang kehidupan yang lebih buruk.
Bagiku, kemiskinan bukan alasan untuk menghalalkan secara cara.
Suatu malam, aku
bermimpim. Aneh sekali. Sangat aneh bagiku.
Aku bermimpi menangis di sajadah dengan menggunakan mukena. Aku bingung,
ada apa dengan mimpiku?
Kudatangi sahabatku di
Bogor. Aku mencoba menenangkan diri di rumahnya. Aku kemudian menceritakan
mimpi yang kualami. Aku mantapkan hatiku untuk minta bantuannya memanggilkan
seorang ustad. Malam itu, aku mengucapkan dua kalimah, di musala, disaksikan
sejumlah orang.
Ketika aku pulang,
kuceritakan semuanya kepada kakak
keduaku. Ia merespon sangat baik, apalagi kedua kakakku juga sudah menjadi
mualaf. Kakak pertamaku masih Nasrani.
Ibu juga mendukung. Beliau tidak menentang keputusanku.
Sejak saat itu, aku
memulai lembaran hidup baru. Aku mulai pakai hijab. Urusan kerja, aku akan
terus berusaha sekuat tenaga. Urusan jodoh, aku sudah punya putusan; tak akan
pacaran, kecuali lelaki tersebut serius untuk menikahiku. Kendati baru kenal
dan ia mengajak nikah, insya allah, aku siap menerimanya.
Allah mengabulkan
doaku. Aku bertemu dan berkenalan dengan seorang lelaki. Ia begitu gigih
mendekatiku. Aku ragu karena baru mengenalnya, tapi aku tak kehilangan akal.
Kuberanikan bertanya kepadanya, apakah mau segera menikahiku?
Aku terkejut. Aku
mendapatkan jawaban yang sangat mengejutkanku. Ia mengatakan, segera melamarku.
Aku justru bingung, apakah aku harus menikah secepat ini? Aku belum mengenal
dia. Apakah ia orang baik-baik? Aku hanya bisa berdoa dalam setiap salat agar
diberikan jalan dan keputusan terbaik.
Beberapa bulan
kemudian, aku resmi dilamar. Kami pun menikah secara sederhana. Aku memutuskan
untuk tetap berhijab. Aku kemudian belajar mengaji. Tak lama kemudian, aku
hamil dan melahirkan.
Allah punya rencana
besar untuk keluarga kecilku. Setelah anak pertama lahir, aku harus kehilangan
ibunda tercinta. Ibuku meninggal dunia disaat kami bahagia menerima kehadiran
anak pertamaku. Aku kehilangan orang yang selama ini menerima keluh-kesahku.
Orang kehilangan orang yang sangat mencintaiku dan sangat aku cintai.
Tak lama kemudian, aku
minta izin pada suami. Aku akan bekerja. Berapa pun gaji yang kudapatkan,
setidaknya dapat membantu menambah pendapatan keluarga. Setidaknya bayi mungil
kami dapat mengkonsumsi susu karena ASI-ku tak mencukupi.
Aku dapat kabar ada
restaurant di sebuah mall di Pejaten buka lowongan. Aku mendaftar ke sana. Aku tak tahu apakah bisa diterima atau tidak.
Selain tidak memiliki pengalaman, aku juga membawa bayi saat wawancara.
Alhamdulillah, aku diterima dengan gaji Rp 800 ribu sebulan. Jauh di bawah
gajiku saat di PT Sanyo. Kujalani pekerjaan tersebut dengan ikhlas.
Ketika restaurant buka
cabang di Depok, aku mengajukan untuk pindah. Kataku, lokasi di Depok tak jauh
dari rumahku. Permintaanku dipenuhi. Ketika itu pula supervisor menunjukku
menjadi kasir.
"Pak, Arin belum pernah jadi kasir. Kerja di
restaurant pun baru. Arin takut tak bisa,” kataku.
“Tak ada yang tak bisa,
jika kamu mau belajar. Saya akan bantu,” katanya.
Ketika restaurant itu
dibuka, aku bukan lagi menjadi seorang waiters, atau yang mengantarkan makanan.
Aku sudah duduk manis di kursi seorang kasir. Kerjanya tak terlalu capek. Gaji
pun naik dari sebelumnya.
Tiga tahun berlalu. Aku
menikmati pekerjaan dengan semangat yang mengebu-gebu, namun sesuatu
menggodaku. Aku bertemu teman kerjaku di Sanyo dulu. Ia tampak lebih cantik dan
anggun. Ia terlihat lebih cantik dengan hijab dan seragamnya. Aku penasaran.
Aku mencari tahu lebih jauh tentangnya. Ternyata ia bekerja di Wardah. Ketika
itu, ia seorang Beauty Advisor (BA) atau
SPG-nya Wardah.
Bermodal alamat kantor
Wardah, aku diantar suami untuk melamar. Entah memang sudah rezeki yang
ditakdirkan Allah, prosesnya sangat mudah. Beberapa hari kemudian aku diterima.
Saat itu pula aku mengundurkan diri dari restaurant.
Jumat, 2 November 2012,
menjadi hari pertamaku bekerja di Wardah. Aku ditempatkan disebuah apotek di
Depok. Seminggu aku bekerja, aku ditimpa musibah. Sekitar pukul 01.00 WIB,
rumah kontrakan yang aku tempati, terbakar. Api menjalar dari rumah sebelah
yang sudah dijamah si Jago Merah. Aku
langsung membangunkan suami, anakku dan tetangga. Alhamdulillah, kami selamat
tapi semua harta benda tak bisa diselamatkan, kecuali surat-surat berharga.
Baju pun hanya yang melekat di badan.
Aku bagaikan disampar
petir. Semua ludes. Kami akhirnya memutuskan tinggal sementara di rumah
mertuaku. Aku kabarkan semua kepada team
leader-ku, sembari minta izin untuk beberapa hari. Aku diminta mengirimkan
foto keadaan rumahku yang terbakar. Aku kirimkan. Beberapa hari kemudian aku
dapat kabar, belum bisa menerima bantuan karena aku baru sepekan bekerja. Aku
menerimanya dengan lapang dada, namun aku menyampaikan agar dapat seragam baru
karena seragamku sudah terbakar. Aku, anakku, dan suamiku menggunakan baju
bekas yang diberikan saudara dan tetangga. Air mataku mangalir setiap ada orang
datang membawakan baju, makanan dan uang. Semua aku terima karena kondisiku
benar-benar sangat sulit.
Aku dan suami kemudian
bangkit. Kami memulai dari awal lagi. Berlahan kehidupan kami mulai membaik.
Aku membeli barang sedikit demi sedikit. Alhamdulillah, akhirnya kami bisa
membeli kendaraan lagi. Ketika keadaan sedikit membaik, tiba-tiba aku ditawari
menjadi Beauty Promotor (BP).
"Beauty Promotor
itu apa, pak? Kerjaannya apa?” tanyaku.
“Tugasmu, mempromosikan
produk Wardah untuk wilayah yang lebih luas. Bisa ke instansi dan kantor-kantor
yang ada,” kata Pak Novi, pimpinanku.
Aku terhenyak. Selama
ini aku selalu bergantung pada suami untuk pergi dan pulang kerja. Jika aku
ditempatkan di BP dan pekerjaannya seperti disampaikan Pak Novi, tentu aku tak
mungkin bergantung terus kepada suamiku.
Tawaran itu aku
rembukkan dengan suami. Keputusannya, aku ke kantor pusat dan bertemu
supervisorku, Mbak Eva. Aku kemudian harus melalui tahap interview dengan Buk
Marry. Aku mendengar kabar dari kawan-kawan lain, jika tak bisa menjawab
pertanyaan Buk Marry, bisa dipastikan yang bersangkutan akan gagal.
Lama aku diinterview
Buk Marry, namun kepadaku tak pernah diajukan pertanyaan seputar produk. Beliau
lebih banyak bertanya sekitar keseharianku. Interview selesai. Aku dinyatakan
lulus. Aku heran, ternyata bertemu dan interview dengan Buk Marry tidak seperti
ketakutan yang berkembang selama ini.
Aku lulus sebagai BP.
Setiap hari aku harus bolak-balik Depok dan Swadarma Raya. Aku tak mungkin
mengandalkan suami saja. Akhirnya aku memutuskan membeli sepeda motor lagi.
Menjadi BP ternyata benar-benar menyenangkan. Banyak pengalaman yang kudapati.
Aku bertemu banyak orang. Berbagai kalangan. Bertemu banyak orang-orang
penting. Aku benar-benar menikmati bekerja di Wardah.
Ketika aku melahirkan
anak kedua, aku mendapatkan tunjangan
melahirkan. Rezeki ku terus bertambah. Aku dan suami tak henti-hentinya berdoa.
Allah telah mengabulkan doa-doa kami, malahan melebih dari apa yang kami minta.
Saat aku dalam
perjalanan untuk bazar di Kementerian Kelautan dan Perikanan, aku mendapatkan
kabar yang mengejutkan. Tahun ini, 2019, aku mendapat jatah umroh gratis dari
perusahaan, PT Paragon Technology and Innovation.
“Apakah aku mimpi?”
tanyaku dalam isak tangis yang tak bisa kutahan.
Aku sempat tak percaya.
Tapi orang yang memberikan kabar via telpon kantor pusat menyampaikan, bahwa
diriku tidak sedang bermimpi. Aku kemudian diyakinkan. Katanya, dalam waktu
dekat semua berkas dan panduan keberangkatanku akan dikirimkan. Aku tak
menduga, bisa secepat ini ke Tanah Suci. Beribadah di Masjid Nawabi dan
Masjidil Haram. Bersujud di depan Ka’bah, tempat yang selalu dirindukan umat
Islam.
Aku memang pernah
mendengar, setiap karyawan yang bekerja minimal tujuh tahun, diberangkatkan
umroh bagi yang muslim. Bagi non muslim, diberangkatkan wisata religi, sesuai
agama masing-masing. Program ini sudah berjalan di perusahaan sejak 2017.
Rata-rata setiap tahun memberangkatkan sedikitnya 500 orang karyawan. Aku tak
pernah menghitung dan membayangkannya sama sekali.
Aku sampaikan kabar
bahagia ini kepada suamiku. Ia ikut meneteskan air mata. Katanya, Allah sangat
sayang padaku, sehingga aku diberi rezeki berlimpah.
“Tapi aku belum
mengerti Islam secara menyeluruh. Membaca Al-Qur’an pun aku masih terbata-bata.
Apa aku pantas ke Tanah Suci?” tanyaku.
Suamimu mendorong dan
memberikan semangat. Ia benar-benar mengerti apa yang kurasakan. Ia terus
membimbingku. Aku pun memantapkan hati dan niat. Berlahan aku mulai
mempersiapkan segala kebutuhan satu persatu. Aku berdoa sepanjang waktu, semoga
Allah memberikan kemudahan dan kelancaran semua persiapan hingga ibadahku.
Sebelum berangkat,
aku menggelar pengajian di rumah. Aku mengundang ustad agar aku diberi
pemahaman selama ibadah di Tanah Suci.
Aku dengar dari banyak orang, apa yang biasa kita lakukan selama ini
akan diperlihatkan di Tanah Suci. Jika
kita berbuat salah maka akan
diperlihatkan di sana. Sempat timbul
rasa takut, tapi aku mantapkan hatiku bahwa
aku berniat untuk ibadah. Aku memohon ampun kepada Allah.
Saat aku berangkat
menuju Jakarta, tempat semua Jamaah Umroh Paragon Technology and Innovation,
berkumpul, ada rasa berbeda mengalir dalam tubuhku. Sehari sebelum berangkat,
aku melaksanakan manasik. Saat itu mulai
berkenalan dengan teman-teman satu kloterku dari berbagai. Alhamdulilah aku
dapat teman baru.
Rabu, 15 Januari 2020, aku berangkat dengan diantar
kedua anakku, suamiku, bapak dan ibu
mertuaku. Mereka melepas kepergianku. Aku tak kuasa membendung air mata yang
menetes.
Kupeluk erat anakku;
Jingga Zilvia Ardhan (9 thn) dan Axel Juro Reynand Ardhan (4 thn). Kupeluk erat
keduanya. Aku pasrah dan ikhlas
meninggalkan kedua anakku. Aku benar-benar ingin fokus ibadah.
Ada rasa itu semakin
menggelegar ketika rombongan kami sudah bergerak menuju Madinah. Aku tak kuasa menahan tangis. Aku
menangis haru karena bisa sampai
ke titik ini. Aku memantapkan
hati dan pasrah terhadap semua yang akan terjadi. Aku pasrah akan semuanya agar
ibadahku lancar.
Disaat pesawat mendarat
di Bandara Internasional Amir Muhammad bin Abdul Aziz (AMMA) Madinah, aku
semakin tak kuasa menahan tetesan air mata. Aku benar-benar telah menginjakkan
kaki di Tanah Suci. Tiga hari rombongan kami menetap di Madinah. Aku sekamar
dengan Mbak Esa, Mbak Sari dan Dita dari DC Bogor. Tiga hari kami ke masjid dan
balik ke hotel bersama. kami salat, mengaji dan menunaikan ibadah-ibadah sunat.
Kami memaksimalkan waktu yang ada untuk ibadah sebaik-baiknya. Aku juga
bersyukur, flu yang sempat menyerang diriku sebelum berangkat, ternyata
sesampai di Madinah sembuh.
Tiga hari di Madinah,
perjalanan diteruskan ke Makkah. Ibadah umroh dimulai. Madinah – Makkah
ditempuh selama enam jam. Ketika meninggalkan Madinah, kami semua sudah
berpakaian untuk umroh. Jemaah lelaki sudah berpakaian ihram.
Setiba di Makkah,
sekitar pukul sembilan malam. Kami menjamak salat Magrib diwaktu Isya. Setelah
itu, langsung melaksanakan rangkaian ibadah umroh. Diawali dengan Tawaf,
mengelilingi Ka’bah.
Saat pertama melihat
Ka’bah, tiba-tiba saja air mataku berderai. Aku menangis. Aku tak pernah
membayangkan bisa melihat Ka’bah secara langsung. Aku menangis. Apakah aku
sedang mimpi? Tiba-tiba saja aku seakan berbisik kepada Allah; Ya, Allah, jika aku sedang mimpi,
jangan bangunkan aku, Ya Allah.
Kuusap mata
berkali-kali. Kucubit lengan. Sakit. Aku tidak sedang bermimpi. Ini benar-benar
nyata. Aku memohon ampun atas dosa-dosaku, bermohon agar diampunkan dosa-dosa
keluargaku dan memohon agar aku bisa kembali ke sini bersama suami dan
anak-anakku.
Aku menjalani dan
menikmati ibadah di Masjidil Haram. Aku benar-benar menikmatinya. Selama di
Masjidil Haram aku mencari tempat terbaik,
aku beribadah di depan Ka’bah.
Aku juga memohon kepada Allah agar dosa-dosa orang tuaku diampuni, sekali pun
keduanya beda agama denganku. Bagaimana pun juga, beliau adalah orang tuaku.
Masih segar dalam
ingatanku pesan ibu saat kuberitahu bahwa aku sudah mualaf, “Jika memang sudah
menjadi muslim, jangan sampai sia-sia. Jadilah muslim yang senantiasa
menjalankan syariat Islam,” kata ibu kepadaku.
Pesan ibu bukan tanpa
alasan. Ketika aku Nasrani yang hanya sekali seminggu ke gereja, aku sering
lalai. Pesan ibu menjadi wasiat bagiku. Aku akan jalankan semua pesan tersebut.
Aku harus melaksanakan salat lima waktu tepat waktu dan menjalankan syariat
yang diperintahkan.
Ketika ustad pembimbing
kami, Ustad Muhammad Azzam dan Ustad Hakim mengabarkan, Rabu, 22 Januaria 2020,
pukul dua dinihari semua sudah di lobi hotel untuk Tawaf Wada’, aku tersentak.
Berarti sudah empat hari kami di Makkah. Empat hari pula aku beribadah di
Masjidil Haram. Sebentar saja rasanya.
Air mata perpisahan ini
tak kuasa menetes saat itu melaksanakan Tawaf Wada. Aku berharap akan bisa
kembali lagi bersama keluarga. Aku yakin, Allah pasti sayang padaku dan akan
mengabulkan doaku.
Saat berpisah dengan
teman-teman satu kloter di Bandara Soekarno-Hatta, kami semua berharap bisa
bersama lagi. Impian kami, suatu saat kami bisa bersama kembali. Suatu saat,
kami dan keluarga kami diberi kesempatan beribadah di Tanah Suci.
Entah kenapa, hingga
beberapa hari setelah sampai di rumah, aku
masih bermimpi Tawaf di depan Ka’bah.
Terima kasih, Buk
Nurhayati Subakat dan Pak Subakat. Semoga ibu dan bapak senantiasa diberi
kesehatan dan keberkahan. Semoga Paragon Technology and Innovation semakin
berkembang. *