Oleh: Firdaus
Di Nagari Matikutu, sekelompok orang sedang
berkumpul. Jika dilihat dari latar belakangnya, apalagi latar belakang
terakhirnya, mereka adalah “orang-orang hebat“ karena baru saja mencalonkan
diri untuk menjadi pejabat di Nagari Matikutu tersebut.
Keinginan mereka menjadi pejabat tak menjadi
kenyataan. Ketika penghitungan suara, suara mereka jauh tercecer di bawah
pemenang I dan II. Dua peraih suara terbanyak, suara mereka juga tidak memenuhi
syarat untuk langsung menjadi pejabat, sehingga dua peraih suara terbanyak itu harus
mengulangi lagi pertarungan. Akan dilakukan pemilihan ulang.
Ada pun mereka yang sedang berkumpul, pada pemilihan ulang, hanya akan menjadi penonton, kemudian menunggu
siapa yang akan menang. Tapi, menariknya, mereka masih saja maajan tuah. Mereka sudah melemparkan
umpan dengan harapan umpan tersebut akan “dimakan” oleh salah satu dari dua
peserta yang bertarung pada pemilihan ulang.
Umpan yang mereka tebar, mengandung isi. Isinya,
ada ketentuan yang harus dipenuhi oleh calon yang akan didukung. Di antaranya,
kapasitas dan kapabilitas calon yang akan mereka dukung akan melalui sejumlah
proses. Konsep calon tersebut untuk membangun Nagari Matikutu akan dibedah
dalam diskusi dengan mereka. Jika sesuai dengan konsep mereka, baru mereka akan
mendukung calon tersebut.
Jika tidak ada yang sesuai, mereka tidak akan
memberikan dukungan pada siapa pun. Mereka kemudian memilih untuk memposisikan
diri untuk mengamati dan mengawasi
pemerintahan yang akan dijalankan calon terpilih.
Karapai dan Badai yang sejak awal mendengar diskusi
orang-orang kalah itu, di lapau One Basuih, sesekali tersenyum mencuri dengar
pembicaraan mereka. Dua sahabat itu kemudian mendiskusikan orang-orang kalah
tersebut setengah berbisik.
Karapai menilai, mereka tak ubahnya sebagai
orang-orang aneh. Sudahlah kalah, maajan
tuah pula. Apa betul hebatnya sudut pandangan mereka terhadap langkah
membangun Nagari Matikutu, sehingga dua pemilik suara terbanyak harus
menyesuaikan dengan mereka?
“Kalau memang hebat, kenapa rakyat tak memilih
mereka?” tanya Karapai pada Badai.
Namun kemudian Badai mendukung orang-orang kalah
tersebut. Di mata Badai, ada juga benarnya kalau dua calon yang akan berlaga di
babak terakhir berkolaborasi dengan mereka yang kalah. Bekal yang dimiliki
orang-orang kalah tersebut bisa digabungkan dengan mereka.
Karapai menolak. Dari sudut pandang Karapai, apa
yang ditawarkan orang-orang kalah tersebut tak lebih dari dua hal saja; bargaining dan upaya untuk mencari
tempat jatuh yang empuk. Dua hal tersebut sekadar untuk menutup malu dari
kekalahan saja.
“Haruskah pemenang yang menyesuaikan diri dengan
mereka yang kalah?” tanya Karapai.
Belum sempat tanya terjawab, Karapai pun
membeberkan logika. Muara dari pemilihan ulang adalah peraih suara terbanyak.
Kalau pun total suara orang-orang kalah di babak awal dikumpulkan, dan
persentasenya cukup tinggi, tapi tidaklah memberikan jaminan bahwa suara tersebut akan bisa dipindahkan
begitu saja.
Suara tersebut ada di tangan pemilih. Di tangan
masyarakat luas. Di tangan masyarakat bebas. Memindahkan suara tersebut tidak
semudah bicara, tidak segampang membalik telapak tangan. Jangankan suara
masyarakat luas yang bebas, suara keluarga atau tetangga saja tidak ada yang
bisa menjamin. Kecuali kalau pemberian hak suara diwakilkan pada calon-calon
bersangkutan.
Karapai tersenyum.
“Kenapa kau senyum-senyum sendiri?” tanya Badai.
“Pantas saja mereka kalah, dan beruntung warga
Nagari Matikutu tak menjadikan salah seorang dari mereka menjadi pemimpinnya,”
Karapai menyimpulkan.
“Kenapa? Kenapa begitu?” tanya Badai.
“Ya, pantas mereka kalah. Sudut pandangnya terhadap
penghitungan sebuah proses seperti itu. Kemudian beruntung warga Nagari
Matikutu tidak memilih calon pemimpin yang bisanya maetong suaro antu. Hari gini masih maetong suaro antu?” Karapai
menyindir sembari menyebutkan, pertemuan mereka tak ubahnya habih cakak takana silek. *
(firda71_padang@yahoo.com)
No comments:
Post a Comment