Oleh: Firdaus
Sore yang mencekam. Tak pernah terbayangkan, bencana itu datang lagi. Gempa dahsyat itu datang tanpa terduga, di saat kedamaian mengitari perjalanan. Sore itu, seusai menerima tamu di ruangan Divisi Program dan Produksi Padang TV, tempat saya sehari-hari menjalani aktivitas, saya menuju ke Padang Ekspres berjalan kaki. Sebelum berangkat, saya sempat meminta dan berpesan kepada tim kerja, untuk menunggu agak sebentar. Ada hal yang hendak disampaikan.
Di Padang Ekspres, saya langsung ke lantai dua untuk sebuah keperluan. Baru saja hendak duduk, tiba-tiba goncangan itu membuyarkan suasana canda di ruangan tersebut. Semua tersentak, lalu berlarian keluar. Ketika sampai di anak tangga lantai dua, suasana sudah ramai. Maklum saja, di lantai dua dan tiga Padang Ekspres ada sejumlah divisi dari sejumlah perusahaan. Yakni, Padang Ekspres, Posmetro Padang, P’Mails, dan media online Padang Today.
Sesampai di anak tangga itu, saya sempat tertegun. Ada seorang berguling dari lantai dua. Yang pasti, dari posturnya, dia seorang laki-laki. Sampai tulisan ini saya tulis, belum terdeteksi siapa gerangan lelaki tersebut. Lalu, satu persatu di antara kami yang berada di lantai dua berlarian turun ke bawah. Sementara guncangan sangat terasa. Sangat keras. Dinding sepanjang tangga mulai berjatuhan.
Ketika sampai di lantai dasar, tak otomatis berada di luar, sebab masih ada koridor menuju halaman. Sesampai di lantai dasar, saya juga sempat sempoyongan, lalu terjatuh. Kalau tidak salah, ketika itu, saya sempat menimpa teman yang jatuh bergulingan dari lantai dua sebelumnya. Ketika hendak mencoba berdiri lagi, tiba-tiba seorang teman lain, kalau tidak salah seorang perempuan, terjatuh. Ini lalu membuat saya kembali sempoyongan. Terjatuh lagi.
Saya merasakan situasi semakin menegangkan, karena dalam kondisi terjatuh dan goncangan gempa masih sangat kuat. Di belakang posisi saya jatuh, masih banyak yang turun dari lantai atas. Ketika itu, Alhamdulillah, saya tidak panik. Saya juga melihat dinding bangunan Padang Ekspres turun runtuh. Ketakutan semakin memuncak, apalagi sebelumnya bangunan itu juga pernah runtuh akibat gempa-gempa sebelumnya.
Ketika saya berhasil berdiri dan hendak berlari ke luar gedung, ternyata sisi kanan hendak keluar gedung, kaca-kaca terus berjatuhan. Sepanjang gedung Padang Ekspres, sisi kanannya dilingkupi kaca, dan kaca-kaca itulah kemudian berjatuhan. Berlari menembus reruntuhan gedung dan kaca yang hanya sekitar 12 sampai 15 meter, terasa sangat mendebarkan. Sesampai di luar gedung, orang sudah ramai di jalananan. Suasana semakin mencekam ketika ribuan orang berlarian dari arah Pasar Raya Padang (barat atau dari arah laut) ke menuju arah timur mencari ketinggian.
Awan Tebal
Saya tak hendak membawa pembaca kepada kondisi lain. Tetapi saya hanya menggambarkan suasana yang saya rasakan empat hari sebelumnya. Ketika itu, Minggu (25/10) sekitar pukul 11.00 WIB, saya berada di bagian belakang rumah saya yang masih belum beratap. Saya menatap ke langit. Sejak kecil saya memang suka menatap langit.
Ketika itu, perhatian saya tercurah ke langit biru di arah utara. Sebuah garis memanjang dari barat ke timur, atau tepatnya dari arah laut ke darat. Saya katakan dari laut karena bagian di ujung sebelah barat lebih besar dibandingkan ujung arah ke timur. Sementara di sekitarnya langit sangat bersih.
Saya sempat tersentak dengan pemandangan itu. Lalu saya masuk ke dalam rumah, kemudian meminta isteri saya untuk menyaksikan pemandangan itu di luar. Sampai di luar dan melihat ke arah yang saya minta, saya sempat menatap wajah isteri tercinta. Ada perubahan di wajahnya. Ada kecemasan dan ketakutan.
”Gadang mah, Da...,” katanya berbisik agar tak terdengar oleh kedua anak-anak yang masih kecil, yang juga ikut menyaksikan pemandangan itu.
Itulah pemandangan yang saya saksikan pada Minggu itu. Keesokan harinya, pemandangan serupa masih terlihat. Ketebalan awan putih yang memanjang itu masih terlihat, dan dengan ukuran yang kira-kira hampir sama.
Saya tak hendak membawa pembaca kepada tahayul, tetapi apa yang saya saksikan tersebut merupakan realita yang sudah sering terjadi. Beberapa kali sebelum gempa datang mengguncang, saya pernah saksikan fenomena itu. Kemudian saya lebih sering sampaikan kepada isteri untuk senantiasa waspada. Dan biasanya dalam selang satu atau hingga tiga pekan ke depannya, kejadian itu benar-benar berlangsung. Malahan ada yang saya saksikan pagi, tiba-tiba sore terjadi gempa. Dari sejumlah kepulan awan lurus memanjang yang saya saksikan, Minggu itu-lah awan lurus yang paling tebal yang pernah saya lihat. *
Catatan: Tulisan ini dimuat Harian Pagi Padang Ekspres, edisi Sabtu, 4 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment