Oleh: Firdaus
Demi menaikkan "rating" diri, saya mengaku dipinang sejumlah parpol, didesak oleh masyarakat untuk maju menjadi calon walikota. "Alasan" desakan itu; saya putra asli kota ini. Lahir dan dibesarkan di kota tercinta ini, sehingga paling tahu persoalan secara detail.
Pada era 1970 hingga awal 1990-an, kehidupan di kota ini sangatlah menyenangkan. Polusi udara tak seberapa. Sungai yang membenah kota dari Lubuakparaku, Lubuakminturan, Gunuang Nago hingga mengalir deras ke laut lepas di muaro, nyaris tak tercemar. Rantai kehidupan di sepanjang sungai sangatlah harmonis, sehingga masih dengan sangat mudah menemukan lauak gariang atau mungkuih. Sawah pun masih ada puyu.
Pusat kota yang ramai ---untuk ukuran masa itu--- nyaris tidak terlalu mengkuatirkan. Masih segar dalam ingatan; saat masih kelas III SD, saya sering disuruh berbelanja ke Pasarraya untuk membeli kebutuhan bengkel. Ayah saya memiliki dan mengelola bengkel karoseri mobil di Lubuakbegalung.
Belanja ke Pasarraya ketika itu, tahun 1980-an, sedikitnya saya membawa uang Rp 200 ribu sampai Rp 300 ribu. Saya masih ingat, ketika itu harga satu emas sekitar Rp 30 ribuan.
Bisa dibayangkan, orang tua saya tidak kuatir sedikit pun ketika anaknya yang kelas III SD membawa uang belanja ke Pasarraya Padang sebesar Rp 300 ribuan (atau sekitar 10 emas. Jika saat ini satu emas sekitar Rp 1.100.000,-- itu berarti sama nilainya dengan Rp 33 jutaan dengan nilai sekarang,--pen)
Lalu, adakah orang tua sekarang yang berani menyuruh anaknya seusia kelas III atau IV SD berbelanja sendirian, naik angkot ke Pasarraya dengan membawa uang belanja setara dengan uang sekitar 10 emas? Saya yakin, jangankan menyuruh, mendengarnya saja pasti sudah merinding.
Kenapa orang tua saya berani menugaskan saya, puluhan tahun silam itu? Jawabnya sederhana; kriminalitas di Padang tempo dulu, tak sehebat sekarang. Kini, sepanjang hari, ancaman kejahatan terbentang secara telanjang di kota tercinta ini.
Persoalan ikutan lainnya, adalah masalah kenyamanan dan kepastian. Dulu, patokan ke Pasarraya untuk berbagai rute dalam kota, sangatlah jelas. Naik dan turun kendaraan di terminal Goan Hoat, atau lebih akrab dengan sebutan terminal atau petak. Ketika hendak pulang, cukup datang kembali ke petak, naik lagi kendaraan di posisi turun semula. Kini? Kepastian itu benar yang tidak ada. Sudah berubah menjadi mal.
Begitu pun dengan Pasarraya yang digadang-gadangkan sebagai pusat pasar utama di Sumbar. Kini nyaris telah mati. Mati! Mati! Hitunglah, berapa banyak toko di kawasan belakang bekas terminal Lintas Andalas hingga Blok A yang notabene toko grosir untuk barang-barang yang akan di bawah ke berbagai daerah, terpaksa tutup sejak terminal Lintas Andalas sudah disulap menjadi mal.
Itu baru secuil persoalan Padang. Sangat banyak masalah lain yang harus saya tuntas. Persoalan RTRW yang harus dikembalikan ke asalnya. Saya jadi teringat tulisan Zuiyen Rais, mantan Walikota Padang, di koran ini, beberapa waktu lalu. Sejumlah kebijakan pembangunan saat ini bertentangan dengan RTRW Kota Padang yang ada.
Rencana pengembangan kota ke bagian timur nyaris tersendat (ini bahas halus untuk mengatakan gagal, hehehe...) karena kebijakan pembangunan mal, rumah sakit, sekolah dan bangunan-bangunan strategis lainnya tetap saja diberikan di pusat kota yang sudah semakin sumpek.
Persoalan lain, sebenarnya sangat menggunung. Banyak isu seksi yang bisa dijual untuk dijadikan visi dan misi, dalam bentuk menawarkan isu serba gratis (sekolah, berobat, naik angkot, makan dan minum gratis di rumah walikota, jika perlu sampai ke air bersih PDAM dan sebagainya), memberikan peluang untuk membuka lapangan kerja baru, akan lebih mendengar rintihan rakyat dan semua persoalan yang dialami rakyat menjadi agenda penting. Kemudian merangkumnya menjadi tagline khusus.
Diam-diam, kemudian saya "mencuri" kesempatan "mengintai" calon pesaing yang akan maju ke bursa pencalonan Walikota Padang. Semua sudah berlari kencang. Sudah pasang spanduk, baliho, liflet hingga tak peduli telah melukai pohon dan tumbuhan, telah merusak wajah kota karena ditempatkan sembarangan dan serampangan, bahkan mencederai hakikat etika karena dipasang kadang tanpa etika. Seenaknya dipasang di tempat tertentu yang ada penghuninya tanpa meminta izin.
Semua pesaing saya juga sudah berlomba-lomba memenuhi undangan gotong-royong, memenuhi undangan baralek, hadir di pertandingan domino, tampil di lomba memancing, panjek pinang, maota di lapau sampai manjalang subuah, tebar pesona sana sini, masuk kampung ke luar kampung.
"Kita sudah tertinggal jauh. Harus diburu hingga popularitas bisa terdongkrak cepat," pinta saya pada sejumlah kawan yang "bersedia" menjadi tim sukses.
"Setelah itu, kita buat survei sendiri. Tahap awal, cukup di tiga atau lima besar saja. Tahapan berikutnya baru masuk dua besar. Sebulan kemudian, ya, kita proklamirkan sebagai yang teratas," kata seorang anggota tim.
Semua sepakat!
"Terus, kapan memenuhi undangan gotong-royong, memenuhi undangan baralek, hadir di pertandingan domino, tampil di lomba memancing, panjek pinang, maota di lapau sampai manjalang subuah, tebar pesona sana sini, masuk kampung ke luar kampung?" tanya yang lain.
"Atur sajalah," kata saya sembari menanyakan, "haruskah ritual itu diikuti?"
"Tidak harus..." sambung yang lain.
"Kenapa?" tanya saya.
"Yang lain juga belum tentu melakukannya," jawabnya.
"Kenapa?" tanya saya lagi.
"Mereka juga sama dengan kita. Demi menaikkan "rating"-nya, supaya dibilang hebat, maka mengaku saja dipinang sejumlah parpol, didesak oleh masyarakat untuk menjadi walikota. Padahal dasarnya, mereka sendiri yang manyorongkan diri," katanya.
"Op…!" seketika mulut saya langsung terkunci.
Ketahuan! *
1 comment:
Ketek sae alah manenteng 30 ameh, apolai kini ? 300 ameh dibaok pakai kantong karesek sae yo da ?
Post a Comment