Suatu ketika, saat menuju pulang
dengan angkot, selepas Magrib, saya duduk bersebelahan dengan seorang pelajar berseragam putih abu-abu.
Persis di depannya, ada temannya juga. Keduanya membicarakan perihal sekolah, pendidikannya,
termasuk masa depannya.
Awalnya saya hanya mencuri dengar
pembicaraan keduanya saja, namun semakin lama, pembicaraan mereka semakin
menarik bagi saya. Saya simak terus, kemudian saya ikut menimpali pembicaraan
itu. Keduanya, mulanya terkejut, namun kemudian tak menolak jika saya ikut
bergabung “membahas” apa yang sedang mereka “pergunjingkan” tersebut.
Keduanya mengaku sekolah pagi. Di sekolahnya diberlakukan sistem satu shif. Jam belajar lebih panjang. Bubar jam regular, atau jam pelajaran standar ---setiap hari--- hampir pukul 14.00 WIB. Selesai itu, mereka tak bisa langsung pulang. Semua siswa harus mengikuti tambahan pelajaran. Itu pun harus dengan guru bersangkutan. Tak bisa tidak. Hukumnya wajib. Setiap hari, rata-rata ada dua materi pelajaran tambahan, sehingga semua berakhir antara pukul 17.00 hingga 17.30 WIB.
“Jika tidak, jangan harap bisa
memiliki nilai bagus, bang,” kata pelajar berjilbab di sebelah saya.
Awalnya saya membenarkan, jika
belajarnya tidak ditambah dari yang biasa, mana mungkin bisa mendapatkan materi
yang diajarkan secara baik dan benar. Hanya saja, gadis itu menolak.
Katanya, pokoknya semua siswa
wajib mengikuti ---termasuk membayar biaya tambahan---, sekali pun pikiran atau
hati tidak pada pelajaran tersebut,
asalkan badan ada di kelas bersama sang guru, maka nilai dijamin aman.
Tiba-tiba saya teringat akan masa
lalu, ketika masih SMA dulu. Jika sekolah pagi, pulangnya sekitar pukul 12.00
WIB. Jika sekolah siang, masuk sekitar 12.30 WIB selesainya sore, sekitar pukul
17.00 WIB. Kemudian saya menghubungkan jam sekolah kedua tunas bangsa di
sebelah dan depan saya, dan kemudian saya berandai-andai masih berseragam putih abu-abu bersama
mereka. Hm… pasti saya tak bisa lagi bermain bola di sawah, bermain voli di
pinggir kali, bercengkrama di pos ronda bersama teman sebaya menjelang pukul
21.00 WIB dan kemudian pulang untuk tidur.
Haruskah pendidikan seperti itu?
“Memperkosa waktu” anak didik dengan menjejeli mereka setiap hari dengan teori,
rumus, hafalan, dan sebagainya. Anak-anak seakan menjadi “obyek“ pencapaian target guru, kepala sekolah, kepala
dinas pendidikan dengan kalkulasi angka-angka kelulusan, nilai rapor.
Di sisi lain, lantaran tak mau
distempel sebagai siswa pemalas, pembangkang, atau cap negatif lainnya, maka
anak-anak bangsa terpaksa harus mengikuti aturan jadwal yang sudah ditetapkan
tanpa sedikit pun bisa dibantah.
Sejak pemberlakuan waktu yang
sangat padat untuk sekolah dan belajarnya, sejak itu pula anak-anak bangsa
kehilangan masa kanak-kanaknya, tak menikmati masa remajanya. Kenyataan ini
bisa berujung kepada minimnya (untuk
lebih halus saja, seharusnya saya tulis; hilangnya,---penulis) nilai sosial dan
hubungan sosial di kalangan mereka.
Cobalah agak sejenak perhatikan anak-anak
di sekitar kita, lalu tanyai mereka
tentang lingkungannya. Kemudian coba bandingkan dengan masa lalu. Ada perbedaan mencolok antara anak-anak masa lalu
dengan anak-anak sekarang dalam memahami lingkungan, hubungan sosial nilai-nilai sosialnya. Di sisi
lain, pendidikan masa lalu juga tak kalah kelasnya dibandingkan sekarang, sementara
jika bicara soal kepribadiaan, silakan jawab sendiri. Padahal ketika itu tak
pernah disibukkan dengan kampanye pendidikan karakter.*
No comments:
Post a Comment