Cerpen: Firdaus Abie
Haruskah aku
datang sekarang, membawa resah dan bara tak terhingga? Jika aku datang,
seonggok budi sudah ku tanam padanya.
Tapi, demi Amak, biarlah. Aku tak kuat mendapatkan Amak merintih. Memar di lengan Amak, perih di batinku. Goresan di pipi Amak, luka di ragaku. Demi Amak, tak apalah. Sekali ini aku menghutang budi
padanya.
Siti membatin.
Gemuruh jantung
Siti tak kunjung berhenti. Batinnya perih. Memar di kedua lengan Amak membuat hatinya tersayat-sayat. Orang tua yang
sejak kecil merawat dan membesarkannya seorang diri, mengalami penyiksaan.
Lebih pahit
lagi, Amak disiksa karena mempertahankan hartanya, kekayaan
yang kami miliki. Amak dianiaya karena harga diri. Hasil jerih payah Abak dari Amak, banting tulang siang malam, direnggut begitu
saja. Upaya paksa itu dihubungkan dengan pembangunan. Kata mereka yang memaksa Amak, ini demi pembangunan. Demi pembangunan, rakyat
dipaksa dan disiksa. Ciss…!
“Tanah dan
bangunan ini memakan badan jalan!” hardik seorang petugas seperti diceritakan
Pak Hamdan, tetangganya.
“Jalan yang
mana?” tanya amak.
“Jalan yang akan
dibangun,”
“Bukan bangunan
yang memakan badan jalan, tapi jalan ini yang memakan pekarangan dan rumah
saya,” balas Amak.
Jawaban Amak membuat petugas mamburangsang dan sejak
saat itu, Amak
dibuat tak berkutik oleh petugas-petugas tersebut. Tangisan dan raungannya
ketika menyaksikan alat-alat berat membongkar rumah, tak dihiraukan. Setelah
semua hanya menjadi puing-puing, petugas itu meninggalkan Amak yang terkapar pingsan.
“Kami sudah
berusaha untuk menghadang, tetapi jumlah aparat melebihi jumlah warga. Mereka
juga dipersenjatai,” jelas Pak Hamdan.
Siti
terpurangah. Dia datang terlambat. Ketika di kampus, ia dapat kabar kalau ada
pembongkaran paksa di Nagari Matipucuak. Darahnya tersirap, ia menduga
pembongkaran paksa itu akan sampai ke rumahnya, sebab hanya rumahnya dan rumah
Pak Hamdan yang belum dibongkar.
Begitu
mendapatkan kabar, Siti langsung cabut dari kampus. Tapi ia terlambat. Ia
sampai ketika semua sudah usai, dan hanya mendapatkan Amak dalam kondisi pingsan. Ada memar di lengan dan
goresan luka di pipinya.
Dadanya turun
naik, sehingga dua tonjolannya tampak bergerak. Ada gemuruh dalam batinnya. Ia
tak terima perlakuan buruk ini. Baginya, Amak adalah segala-galanya. Sejak kecil, ia hanya
merasakan kasih sayang Amak dan berusaha untuk melupakan Abak, walau terkadang
rindunya pada Abak
datang melintas.
Kata Amak, Abak pergi ketika Siti masih berusia dua tahun.
Mulanya, ia pergi hanya untuk mencari kerja di ibukota kabupaten. Ia tak
sanggup lagi untuk bertani. Amak melepas kepergiannya. Sejak pergi, jangankan
pulang, kabar pun tak pernah dikirim.
Hingga sekarang,
status amak masih digantuang indak batali oleh Abak. Hanya saja, Amak tidak pernah sakit hati atau marah. Ia masih setia
menunggu. Amak pernah menyampaikan pada Siti, ia akan tetap menanti Abak pulang sehingga menolak secara halus pinangan
Incek Saka, duda tanpa anak yang kematian isteri.
Sehari setelah
kejadian, Siti memutuskan untuk tidak kuliah. Ia sudah berjanji akan membawa Amak kepada seniornya di kampus. Setidaknya bisa
menenangkan batin Amak sebelum mengambil langkah-langkah berikutnya. Siti
tak bisa menerima perlakuan semana-mena tersebut.
Ia kemudian
teringat seniornya. Satu kampus, namun berbeda fakultas. Siti kuliah di
fakultas kedokteran, temannya tersebut kuliah di fakultas hukum. Keduanya
berkenalan secara tak sengaja, ketika sama-sama mengikuti pelatihan kepemimpinan
dasar. Sejak perkenalan pada pelatihan tersebut, keduanya sering jumpa di
perpustakaan atau di rektorat. Sejak itu, keduanya semakin akrab. Belakangan
Siti tahu kalau kawan barunya tersebut seorang pegawai negeri.
“Setidaknya,
kita bisa mencari tahu langkah terbaik,” kata Siti kepada Amak. Amak menurut. Ia berharap, teman Siti tersebut
dapat menjadi penawar bagi penganiayaan yang dialaminya.
Harapan Siti,
sebenarnya melebihi harapan Amak. Kepedihan yang dirasakan Amak bisa terobati, sembari ia bisa jumpa Dahlir, lelaki ganteng yang
berpenampilan tenang, lembut, penyabar dan taat ibadah. Sosok ideal yang ada
dalam pikirannya. Berbeda dibandingkan Abaknya yang seakan hilang ditelan bumi, sebelum ia
dapat merasakan kasih sayang Abak sesungguhnya.
Kepadanya, Amak sering memuji Abak. Ia seorang lelaki yang gagah. Tenang dan terkesan
pendiam. Pernikahan Abak dengan amak karena dijodohkan orang tua. Pesta
pernikahan berlangsung meriah. Keluarga Abak tergolong orang terpandang di kampung. Begitu pun
keluarga Amak.
Setelah
kelahiran Siti, Abak sering gelisah. Ia tak mau lagi bekerja di
kampung, padahal sawah dan ladang pembagiannya dari orang tua tergolong besar.
Sebelum Abak merantau, semuanya sudah diberikan kepada Amak. Amak tak curiga sama sekali. Sejak kepergian Abak, jangankan pulang, kabar pun tak pernah datang.
Hanya saja, Amak
tetap yakin, saatnya Abak akan pulang.
Siti hanya bisa
menatap foto Abak
dan Amak ketika keduanya menggenakan pakaian pengantin. Itu
pun hanya ada dua foto. Keduanya dipajang di ruang tamu.
Perjalanan ke
rumah Dahlir termasuk melelahkan. Keduanya harus menaiki ojek. Beberapa kali ojek terpaksa berhenti sejenak
karena Amak merasakan sakit-sakit di punggungnya. Malahan
beberapa kali ojek yang ditumpangi Amak sempat oleng, karena amak terkantuk-kantuk.
Setelah bertanya
kepada beberapa orang yang dijumpai, akhirnya Siti dan Amak menemukan juga rumah lelaki ganteng itu. Ada
gemuruh dalam dada Siti. Ini kali pertama ia ke rumah lelaki yang menjadi sosok
ideal dalam pikirannya.
Setelah
mengucapkan salam di depan pagar rumah Dahlir tiga kali, seorang perempuan
menghampirinya.
“Maaf, uni.
Benarkah ini rumah uda Dahlir?” tanya Siti yakin.
“Benar. Anda
siapa?” tanya perempuan itu. Siti menduga, perempuan tersebut pasti saudaranya
Dahlir.
“Saya Siti,
yunior uda Dahlir di kampus,” jawab Siti mantap. Perempuan itu kemudian
mempersilakan Siti dan Amak masuk.
“Uda Dahlir
sedang di kamar mandi. Sebentar lagi juga selesai,” kata perempuan tersebut,
kemudian mempersilakan Siti dan Amak duduk, lalu ia minta izin ke dapur.
Siti kemudian
menceritakan perihal lelaki yang hendak ditemuinya kembali kepada Amak. Bagaimana awal perkenalannya hingga sampai ia
begitu akrab. Ada kekaguman dalam kalimat-kalimat Siti kepada Amak tentang Dahlir.
Ketika ditanya Amak, siapa perempuan tersebut, Siti terdiam. Ia tak
bisa menjawab, sebab ia pun tak tahu. Selama pertemanan dirinya dengan Dahlir,
sama sekali tak pernah
menceritakan tentang kehidupan pribadi. Siti sengaja tidak menanyakan, sebab
sekalipun berlahan ia mulai mengagumi Dahlir, namun dirinya masih menyimpan
rapat-rapat kekaguman tersebut.
“Mungkin
adiknya,” Siti menjawab singkat. Ada senyuman tersungging di bibir Amak. Senyuman yang ganjil.
Tak lama,
perempuan yang membukakan pagar, kembali. Ia membawa nampan berisi gelas dan
dua botal kue kering.
“Silakan diminum
dan dicicipi kuenya,” sapanya sembari meletakkan kedua gelas dan botol kue
kering.
Baru saja Siti
dan Amak mengangkat gelas untuk meminum teh manis yang
disuguhkan, sebuah langkah berat dari belakang mengarah ke ruang tamu.
“Uda, ini tamu
yang mencari uda,” kata perempuan tersebut sembari berdiri dan mengapit mesra
lengan lelaki yang dicari Siti dan Amak.
Amak terpana.
Tatapannya nanar. Ia seperti mengenal wajah lelaki itu. Dicobanya mengingat.
Terus diingatnya. Keningnya tambah berkerut. Berlipat-lipat. Kemudian matanya
dipejamkan, menjemput waktu-waktu yang telah berlalu.
Amak menatap
tajam kepada lelaki itu. Siti pun demikian. Ia melihat ada perubahan di wajah Amak. Diamati raut wajah Amak, seakan memendam sesuatu. Tatapannya pun kemudian
beralih kepada Dahlir. Juga ada perubahan dalam raut wajah Dahlir.
Tatapan Siti
kemudian beralih kembali kepada Amak. Bibir Amak bergerak. Gerahamnya bergemertak. Nafasnya naik
turun tak karuan. Tatapan mata Amak semakin liar kepada Dahlir. Nafas Amak pun turun naik semakin tak karuan. Belum sempat
Siti bertanya, sekelabat tangan kanan Amak mengusap goresan luka di pipinya. Usapan itu
berulang dilakukan. Siti tak paham apa yang dilakukan amak.
Kemudian amak
roboh.
Pingsan! []
Kapehpanji,
13 Februari 2013
Catatan:
Dimuat di Harian Umum Rakyat Sumbar, 5 Mei 2018
No comments:
Post a Comment