Cerpen: Firdaus Abie
Kalaulah Amak tidak sering memintanya pulang, Bidin belum tentu pulang. Baginya, berburu di rantau lebih baik dari pada harus pulang kampung. Usaha yang sedang dilakoninya sedang berkembang dan lagi naik-naiknya. Jika ditinggal, Bidin kuatir. Ia tak ingin peristiwa enam tahun silam terulang lagi.
Ketika itu, hanya ditinggal dua hari saja, usaha yang susah payah dirintisnya, lenyap begitu saja. Semua barang dagangannya dipindahkan entah kemana oleh anak buahnya. Sembilan bulan Bidin bolak-balik ke kantor polisi, ternyata tak ada perkembangan terhadap penanganan kasus yang yang dilakukan anak buahnya tersebut. Anak buahnya tak pernah tertangkap.
Sejak kejadian itu, selain harus membayar tagihan barang yang belum dibayarnya, Bidin juga harus bolak-balik ke kantor polisi untuk mencari tahu perkembangan. Tabungannya pun ludes dalam sekejap. Keadaan berubah drastis. Ia jatuh bangkrut. Malahan kawan-kawannya sesama berdagang pun menduga bahwa Bidan bisa gila dibuatnya.
Dugaan itu meleset. Bidin memiliki bekal agama yang kuat sejak masih kanak-kanak. Abaknya yang guru mengaji dan ustad di kampung, telah mewariskan bekal agama yang baik, seperti halnya anak-anak Minang lainnya. Kalau pun Bidin bangkrut, ia tetap tidak lupa pada Tuhan.
Beruntung seorang polisi berpangkat rendah, yang sering dijumpainya di kantor polisi setiap mencari tahu perkembangan penangganan kasusnya, memompa semangatnya untuk bangkit. Polisi itu pun kemudian membantu, mencarikan modal awal untuk berusaha kembali. Usahanya pun kemudian dimulai dengan langkah terseok-seok. Sampai setahun kemudian, hasil kerja kerasnya mulai terlihat.
Ketika Amak memintanya pulang, enam bulan lalu, Bidin tersentak. Ia tak ingin kejadian masa lalu terulang kembali. Makanya Bidin meminta agar pulang kampung ditunda dulu, sampai saat yang benar-benar memungkinkan.
Jalan keluar pun didapatkan, tanpa mengungkit masa lalu, Bidin meminta bantuan polisi yang membantunya untuk mencarikan orang yang bisa dipercaya untuk membantu usahanya. Setelah orang tersebut enam bulan bekerja dengannya, Bidin baru berani pulang kampung, memenuhi permintaan Amak.
“Bisuak ciek lai, Ajo Anguih jo Uniang Nia ka mari, nyo ka mampatamuan waang jo si Upiak Kamek anak gadihnyo[1],” Amak menjelaskan, setelah Bidin melahap lalidih tumih balado[2], makanan kesukaannya.
Bidin sudah bisa menebak arah pembicaraan Amak. Upiak Kamek akan dijodohkan dengannya. Bidin mencoba mencari wajah Upiak Kamek dimasa lalu, tetapi sulit didapatkannya. Waktu yang cukup lama di perantauan, membuatnya tak bisa menghadirkan kembali bayangan Upiak Kamek. Padahal dari cerita Amak, ketika masih kanak-kanak, sekali pun Upiak Kamek sebaya dengan adiknya, namun semasa kecil pernah sama-sama bermain.
Bidin mencoba menelusuri masa lalu, namun bayangan itu tak bisa dijemputnya. Sudah terlalu lama ia meninggalkan kampung. Setelah putus sekolah di SMP, Bidin merantau ke Jawa. Mulanya ia hanya menjadi knek bus Padang – Jakarta. Lalu ia mencoba untuk mengubah nasib, dan berhenti menjadi knek untuk mencoba bertarung hidup di Jakarta. Ia baru pulang kampung setelah dua puluh lima tahun kemudian, setelah Amak sering mendesaknya. Usianya kini hampir kepala empat.
*
Setelah melepas rindu pada Amak, Bidin mendatangi lapau[3] Sutan Mudo yang berada di ujung kampungnya. Dulu lapau itu tempat mangkalnya bersama teman-teman sebayanya. Setiap langkah, selalu diatur dari lapau itu.
Sesampai di ujung kampung, Bidin terdiam sejenak. Ia ragu. Ia tak menemukan lapau Sutan Mudo lagi. Dulu lapau Sutan Mudo hanya papan yang disusun dan beratapkan rumbia. Lapau yang ada di depannya sekarang sudah dibangun permanent. Bentuknya tak lagi seperti lapau yang ditinggalkannya dua puluh lima tahun silam.
Dalam keraguan, Bidin tersenyum. Ia yakin lapau yang kini di depannya pastilah lapau Sutan Mudo. Ia masih ingat pohon aru di sisi lapau yang masih ada. Dulu ia sering berteduh dan bergelantungan di pohon aru tersebut.
Ketika kakinya memasuki lapau, Bidin terkejut. Ia merasa tersanjung, ternyata Sutan Mudo masih mengenalinya. Ia disambut meriah oleh Sutan Mudo. Bidin merasakan kegembiraan yang luar biasa. Kampung yang sudah ditinggalkannya dua puluh lima tahun silam, ternyata masih ramah padanya. Itu yang dirasakannya.
“Nan samo gadang jo waang, ndak ado lai di kampuang doh, lah kalua sadonyo[4],” Sutan Mudo memulai pembicaraan, ketika menangkap keheranan pada diri Bidin setelah berkenalan dengan sejumlah anak muda yang duduk di lapau. Tak seorang pun yang dikenalnya, sebab yang ada di lapau tersebut sudah sangat jauh rentang usia dengannya.
Sutan Mudo pun kemudian memperkenalkan satu persatu yang duduk di lapaunya. Ada cucu Pak Pono. Begitu menyebut nama Pak Pono, Bidin tersentak. Ia merasa bersalah pada orang tua itu. Ketika masa kanak-kanak, Bidin sering sembunyi di sawah Pak Pono saat padi menguning, sehingga padi di sawah garapan Pak Pono banyak yang rusak. Isi ladang Pak Pono, sayuran dan buah-buahan, terkadang ayam, juga sering dicurinya bersama kawan-kawan sepermainan.
Bidin pun hanya bisa tafakur ketika mendengar penjelasan bahwa Pak Pono sudah meninggal sembilan tahun lalu, dua bulan setelah Wan Ismail meninggal dunia. Bidin bagaikan disambar gledek. Baru kali ini ia merasakan darahnya mengalir begitu keras,
Baginya, kedua orang tua ini memiliki kenangan tersendiri. Bidin merasa belum sempat mengaku dan minta maaf kepada Pak Pono atas gangguan dan kerusakan yang telah dilakukannya pada masa lalu. Teramat banyak kesalahan dan dosa yang diperbuatnya kepada lelaki tua itu.
Sedangkan Wan Ismail merupakan sosok orang yang diseganinya. Ketika masih kanak-kanak, Bidin sering bermain di rumah Wan Ismail. Anak lelakinya terpaut dua tahun usianya di bawah Bidin. Bidin dan anak Wan Ismail berteman akrab. Jika Wan Ismail membelikan sesuatu untuk anaknya, maka Bidin akan mendapatkan pula barang yang sama.
“Anta-kan ka kuburan Pak Pono jo Wan Ismail ciek,[5]” pinta Bidin kepada cucu Pak Pono.
Anak muda yang diminta pun menuruti. Tak hanya cucu Pak Pono, yang lain pun mengikuti langkah Bidin. Kuburan Pak Pono dan Wan Ismail berada di pandam pekuburan kaum di kampung tersebut. Keduanya tidak terlalu jauh. Lama Bidin berdoa di kedua makam tersebut.
Setelah dari makam Pak Pono dan Wan Ismail, Bidin dan anak-anak kampung tersebut kembali ke lapau Sutan Mudo, setelah sebelumnya menusuri kampung yang sudah lama ditinggalkannya.
“Lah barubah sado alahnyo, Pak Sutan[6],” jelasnya.
Wajah kampung tersebut memang telah berubah. Sutan Mudo membenarkan apa yang dirasakan Bidin. Semuanya berubah sangat cepat, malahan terhadap hal yang dilukiskan Bidin kepada anak-anak muda berusia belasan tahun yang mendampingi yang tersebut, mereka mengaku tak tahu dengan apa yang dibeberkan Bidin.
Bidin tak menemukan tapian mandinya. Pincuran air yang begitu besar dulu, kini sudah ditempati sebuah perusahaan penyulingan air minum. Lapangan bola yang dulu berkubang lumpur ketika hujan dan sawah yang menguning, tak ada lagi. Sudah berubah menjadi komplek perumahan. Secara fisik, kawasan tersebut terlihat ramai, namun terasa sepi di hati Bidin.
Ketika hendak meninggalkan lapau Sutan Mudo, seorang perempuan berambut sebahu masuk ke lapau tersebut. Bidin sempat menatapnya, gadis itu pun menatap Bidin. Tatapan keduanya beradu. Gadis itu tersenyum, Bidin membalas senyum tersebut. Ada debar di dada Bidin. Makin menatap perempuan itu, debarnya kian terasa.
Perempuan itu hanya sesaat di lapau Sutan Mudo. Ia menjemput salah seorang yang menemani Bidin ke makam Pak Pono dan Wan Ismail. Ketika perempuan itu hendak balik kanan, ia masih sempat melemparkan kembali seulas senyuman kepada Bidin.
Bidin terkejut. Tak menduga senyuman dadakan itu. Dibalasnya senyum itu. Bersamaan dengan itu pula, Bidin seakan memikirkan sesuatu. Pikirannya menerawang, melayang mengingat sesuatu.
Seulas senyum perempuan itu seakan membawa Bidin untuk menembus lorong waktu yang cukup panjang. Keningnya berkerut. Ingatannya sampai pada masa sebelum dirinya bangkrut. Kemudian ia tersenyum kecut. Tangannya dan kakinya bergetar. Bidin ingat sesuatu, dan ia yakin dengan ingatannya tersebut. Padahal itu sudah mengubur masa itu dalam-dalam. Sudah membuang jauh-jauh. Bidin yakin, perempuan itu pernah dibokingnya tiga kali.
Bidin semakin tersentak. Dalam gigil yang kian membuatnya gemetar, ia merasa seakan nyawanya telah lepas dari raga. Ia melayang jauh entah kemana ketika Sutan Mudo memberitahu bahwa gadis yang menjemput keponakannya tersebut adalah Upiak Kamek, anak Ajo Anguih yang pernah lama pula hidup dan bekerja di Jakarta.
Hari itu juga, Bidin balik ke Jakarta. Di Jakarta, ia pun kemudian mendapati tokonya sudah kosong.***
Padang, 17 Ramadhan 1341 H, 28 Agustus 2010.
(Cerpen: Firdaus, Dimuat Harian Pagi Padang Ekspres, edisi Minggu 5 September 2010)
Catatan:
[1] Besok lusa, Ajo Anguih dan Uniang Nia akan ke sini untuk mempetemukan kamu dengan Upiak Kamek.
[2] Makanan khas orang Padang.
[3] Kedai
[4] Kawan-kawan seangkatanmu, tak ada lagi di kampung. Semua sudah pergi.
[5] Antarkan ke kuburan Pak Pono dan Wan Ismail ya..
[6] Semuanya sudah berubah.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Ruang Buku Karya Dosen Unand
Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir Insannul Kamil , M.Eng, Ph.D , WR III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku Mahasiswa jika tak B...
-
Ketika hadir dan berbagi bekal menulis cerpen, di akhir Oktober 2019, awalnya asyik-asyik saja. Sebanyak 50 orang pelajar SMP 2 Sijunj...
-
Judul : Cincin Kelopak Mawar Penulis : Firdaus Abie Penerbit : ErKa Tahun Terbit : 2016 ...
-
Oleh: Firdaus Entah kenapa, pada momentum peringatan Hari Ibu, kali ini, saya teringat pada cerpen karya A.A Navis (alm). Cerpen ...
No comments:
Post a Comment