Oleh: Firdaus
Ketika masih kanak-kanak, sayasering ikut kejuaraan sepakbola tarkam berkaki ayam (tanpa sepatu,---pen). Ada dua aturan yang digunakan. Pertama, berdasarkan tinggi. Tinggi pemain, maksimal1,50 meter, sedangkan penjaga gawang 1,60 meter.
Setiap pemain harus melewati ukuran yang sudah ditetapkan panitia. Sesampai di alat ukur tersebut, harus berdiri tegak, kepala tak boleh merunduk. Jika tersangkut, maka tak dibolehkan main. Jika lolos, maka pergelangan tangan akan diberi stempel khusus.
Aturan kedua, hanya melihat kelayakan. Semua pemain dibariskan, lalu ditatap sesuai kelayakan saja. Jika tim lawan merasa meragukan usia yang terlalu berselisih jauh dengan standar,maka dibolehkan mengajukan keberatan, dan pemain tersebut tidak dibolehkan tampil. Jika tak ada keberatan, maka permainan segera dilaksanakan.
Terhadap aturan kedua, seringbermasalah setelah selesai pertandingan. Biasanya, tim yang kalah akanmemprotes pemain tim pemenang yang dianggap menonjol. Tim yang kalah memanfaatkan kesempatan ini, dan berharap protesnya diterima, lalu lawannya didiskualifikasi, dan mereka-lah yang kemudian berbalik menjadi pemenang.
Awalnya panitia sempat kewalahan,sebab protes setelah laga cenderung mengurus tenaga, pikiran dan waktu yanglebih ekstra. Malahan tak jarang berujung pada keributan karena kedua belahpihak merasa benar.
Panitia pun tak kehilangan akal.Aturan pun dibuat. Jika pemain sudah disyahkan, maka tak diizinkan lagi untuk protes. Kalau tak mau menerima aturan itu, panitia bisa menolak keikutsertaannya.Sejak saat itu, semua proses berjalan mulus. Tak ada lagi keributan. Sekali pun semangat bertanding dan bertarung tinggi, semangat kebersamaan sangat terasa,sekali pun tak ada jargon badunsanak-nya.
Hari ini, beragam bungkusan yang menyatakan kebersamaan, persatuan, persaudaraan dan berbagai istilah yang hakikatnya menyatakan satu rasa untuk satu jiwa, namun tak jarang bermuara kepada pertikaian dan pertentangan.
Menariknya, pertikaian itu justru terjadi dan dilakukan setelah semua proses selesai dilakukan. Abih cakak,takana silek. Muaranya sudah dapat ditebak; pemenang dan yang kalah sama-sama memiliki rasa bahwa merekalah yang benar. Pemenang akan bertahan untuk membela diri agar kemenangan yang sudah dalam genggaman tidak lepas.Sebaliknya, yang kalah, akan terus menyerang agar pemenang didiskualifikasi,dan kemenangan berpindah kepadanya.
Tak jarang, persoalan ini berbuntut pertikaian berkepanjangan. Di banyak daerah, gelombang massa cenderung bergerak. Mulai dari demo damai, ribut-ribut dan bentrok denganaparat keamanan hingga aksi anarkistis. Dimanasaja? Rasanya tak perlu diurut satu persatu, silakan cari, maka akan sangatmudah ditemukan jawabannya.
Kenyataan ini sangat bertolakbelakang dengan sikap yang canangkan sebelum "pertarungan" berlangsung yangmenyatakan siap kalah dan siap menang. Dari realita yang ada, hanya siap memangdan (tak) siap kalah.
Dalam prakteknya, jika sudahseperti itu, biasanya calon yang kalah, cenderung cuci tangan dalam bahasapolitis bahwa sebenarnya ia sudah menerima apa adanya. Perihal yang demo danprotes, merupakan masyarakat yang merindukan demokrasi, menuntut keadilan danbla-bla-bla... dan seterusnya. Satu sisi ia cuci tangan, di sisi lain (secara tak langsung) tetap saja menggerakkan kekuatannya. Jika saja ia menerima kekalahantersebut dengan lapang dada, sesuai semangat yang digelorakan dari awal; siapmenang dan siap kalah, maka "para dayang-dayang" mau pun massa yangdikondisikan tidak akan bergerak.
Di sisi lain, tak sedikit pula"para dayang-dayang" mau pun massa yang dikondisikan lupa dengan "lagu" lama. Kalau pun orang yang diperjuangkan menang, bukan berarti apa yang diharapkan darinya akan bisa direalisasikan. Banyak contoh bahwa begitu sudah duduk dikursi empuknya, cenderung tidak banyak yang diperbuat untuk yang menolongnya,sebab tanggungjawabnya tidak hanya untuk pendukung, tetapi sudah untuk semuaorang.
Jika sudah begini, maka persoalan baru pun muncul, 'para dayang-dayang" mau pun massa yang ikut-ikutan tersebutakan tersadar sendiri. Bila sudah begini, baru kemudian merasa dan bahkanmenyesal telah habis-habisan untuk melakukan sesuatu kepada yang melupakanmereka kemudian.
Tapi apa hendak dikata, mereka bukan pemain bola tarkam bersama saya dulu, sehingga cenderung baru abih cakak takana silek, lalu protes dan ada kalanya sampai ribut. Lalu muncu lpertanyaan; mana semangat badunsanak-nya?
Seorang kawan menyela; mungkin disinilah kelirunya. Kok orang yang badunsanak mau bertarung habis-habisan sejak awal?
Hm... antahlah, Yuang!*
(Dimuat pada Harian Pagi Padang Ekspres, Minggu 22 Agustus 2010)