Suatu ketika, saat podcast dengan Pak Ir Insannul Kamil,
M.Eng, Ph.D, WR
III Unand. Kata beliau, Jangan Mengaku
Mahasiswa jika tak Bisa Menulis.
Pernyataan ini menarik bagi saya. Mahasiswa
saja, tidak boleh mengaku mahasiswa jika tidak bisa menulis.
Lalu saya sampaikan pada beliau, jika standar jadi mahasiswa saja sudah tinggi, bagaimana dengan dosennya.
Beliau menjawab; Saya yakin, Pak Firdaus bisa menemukan jawabannya . Bukankah Pak Firdaus minimal dua atau tiga kali seminggu ke kampus Unand?
Saya ke kampus, menjalani aktivitas
mengantar atau jemput anak saya, Ia kuliah jurusan Sastra Indonesia. Saya
jemput antar ini karena Ia tak punya kendaraan sendiri. Sering naik Trans
Padang dari Lubuk Buaya ke Simpang Ketapiang via By Pass, lalu menyambung dari
Simpang Ketapiang ke kampus. Kadang dari Lubuk Buaya dengan Kereta Api ke
Simpang Haru, baru dari Simpang Haru ke Kampus. Begitu sebaliknya.
Jika Ia latihan teater, baru saya
jemput.
Pernyataan Pak Nanuk tersebut, terjawab, setelah pak Dr
Ing Ir Uyung Gatot Syafrawi Dinata, M.T menyampaikan;
akan ada loaunching Ruang Buku karya
Dosen Unand. Ada 3.542 buku karya dosen Unand.
Pada kesempatan ini, izinkan saya menyampaikan
beberapa hal:
1. Saya memberikan apresiasi terhadap kehadiran RuangBuku Karya Dosen Unand ini. Kehadiran Ruang
Buku Karya Dosen Unand ini akan memberikan dorongan yang sangat dahsyat
kepada publik, khususnya mahasiswa di Unand, bahwa ternyata di sela-sela
kesibukan dosen yang sangat luar biasa,
ternyata masih bisa berkarya dan meninggalkan legacy kecerdasan.
Karya dalam bentuk tulisan, apalagi sudah
menjadi buku, merupakan pusaka yang tak akan pernah habis dan tidak akan kering.
Malahan akan bisa terus ditimba manfaatnya setiap saat.
Sebuah buku, menurut saya dapat dilihat dari
dua sisi:
Pertama;
Usia
intelektual sebuah buku jauh lebih panjang dari pada usia penulisnya.
Novel Siti Nurbaya, Kasih tak Sampai,
diterbitkan Balai Pustaka, tahun 1922. Hingga kini masih menjadi bahan kajian,
khususnya di dunia pendidikan. Penulisnya, Marah Rusli, meninggal pada 17 Januari 1968 di Bandung,
dalam usia 79 tahun.
Atau, buku yang lebih tua. Buku yang ditulis Plato,
The Republik. Ditulis sekitar 380 tahun SM, (perkiraan, usia Plato saat itu, 40
tahun) teks ini dianggap sebagai salah satu karya paling berpengaruh yang
pernah ditulis. The Republik mengamati keadilan dalam manusia dan politik, membahas peran filsuf dalam masyarakat. Banyak
konsep intelektual yang terkandung dalam buku yang masih dibahas sampai hari
ini.
Kedua;
Berpengaruh
bagi kehidupan dan dapat mengubah dunia.
Salah satu yang paling nyata di Belitung. Sejak
novel dan film Laskar Pelangi, karya Andrea Hirata, minset masyarakat setempat telah berubah. Kehidupan masyarakat yang
sebelumnya dari tambang, berubah kepada sesuatu yang
lebih besar dan menjanjikan daripada tambang, yaitu Pariwisata.
Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata Mancanegara (ketika
itu) I Gde Pitana menyebutkan, sebelum ada
film Laskar
Pelangi, Belitung tidak ada di Peta
Pariwisata Indonesia, sekarang justru menjadi salah satu dari Destinasi
Prioritas Indonesia. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Belitung meningkat hingga
seribu persen lebih.
2. Setelah adanya RuangBuku Karya Dosen Unand ini, apa lagi?
Harapan terbesar dan harus direalisasikan adalah, ruangan ini
benar-benar dikunjungi, dan buku-bukunya
dibaca orang. Dibaca sesama dosen. Dibaca mahasiswa dan masyarakat luas.
Menjadi referensi bagi ilmu pengetahuan.
Jika ruangan sudah bagus, sejuk dan repsentatif, buku-bukunya
banyak dan lengkap, namun tidak dikunjungi orang, bukunya tidak dibaca orang, sedih
juga rasanya. Maka ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi pengelolanya.
Dibutuhkan perhatian dan komitmen bersama, agar Ruang Buku Karya Dosen Unand benar-benar
dikunjungi dan bukunya dibaca, lebih khusus dibaca mahasiswa. Bagaimana
caranya? Saya yakin, pengelola pasti sudah mempersiapkan langkahnya.
Setidaknya, mahasiswa “dipaksa” (dalam arti positif) untuk datang ke Ruang Buku Karya Dosen Unand, melalui
tugas-tugas tertentu.
3. Jika hari ini kita launching Ruang
Buku Karya Dosen Unand di sini, semoga besok atau lusa, akan hadir Ruang Buku Karya Dosen Unand di berbagai titik strategis di kampus tercinta
ini. Bisa saja, misalnya, di kantin, di masjid, di tempat-tempat kegiatan
mahasiswa lainnya. Kita antarkan buku-buku ke sana, sehingga titik fokusnya
tidak hanya di sini saja. Kalau hanya di sini, maka mereka dengan sengaja untuk
hadir dan membacanya di sini, rasanya hal tersebut akan sulit terjadi pada
situasi sekarang. Atau, minimal, Ruang
Buku Karya Dosen Unand ada disetiap fakultas, dan buku-bukunya karya dosen
di fakultas tersebut.
Saya teringat inspirasi beberapa sekolah yang sangat peduli
dalam pengembangan literasi, yang pernah saya kunjungi. Misalnya, di SMA Negeri 5 Padang dan SMAN 4 Bukittinggi.
Sekolah ini tak hanya mengandalkan perpustakaan, tetapi sengaja meletakkan
buku-buku pada titik yang sering dikunjungi siswa dan orang tua.
Ada rak dan buku di pos penjagaan sekolah. Orang tua atau
keluarga yang menjemput anak-anaknya, bisa memanfaatkan waktu menunggu tersebut
dengan membaca. Walau tidak sampai selesai, memungkinkan mereka untuk
melanjutkan pada hari-hari berikutnya.
Ada buku di ruang tunggu kepala sekolah dan guru. Ada buku di
masjid sekolah. Ada juga beberapa sudut lainnya di sekolah tersebut.
Di SMPN 1 Padang, selain perpustakaan sekolah, juga ada pojok
baca lainnya. Mereka menamai dengan Pojok Baca Bung Hatta, karena tokoh
bangsa tersebut pernah bersekolah di sana.
Ada juga inspirasi dari SMPN 10 Padang, SMPN 3 Ampek Angek -
Agam dan SMAN 6 Padang. Sekolah ini tak hanya mengandalkan perpustakaan dalam
bentuk fisik buku. Juga memiliki perpustakaan digital. Buku bisa dibaca melalui
android, mengikuti perkembangan zaman. Tapi tak bisa diunduh atau disimpan.
Masa edarnya ditentukan. Ketika masa edarnya lewat, maka buku tersebut tak bisa
dibaca lagi, kecuali dipinjam ulang.
4. Setelah adanya RuangBuku Karya Dosen Unand ini, semoga juga kelak ada juga Ruang
Buku Karya Mahasiswa Unand, sehingga memberikan dorongan luar biasa kepada
mahasiswa untuk unjuk karya intelektualnya. Apalagi jika Unand memfasilitasi
proses pracetak dan penerbitan buku untuk mahasiswa tersebut. Hal ini sekaligus
menjawab pernyataan Pak Nanuk bahwa, Jangan Mengaku Mahasiswa Jika Tak Bisa
Menulis.
5. Pada kesempatan ini, izinkan saya untuk
menyerahkan buku karya saya, dua buah novel, salah satu ditulis dalam bahasa
Minang (Indak Talok Den Kanai Ati). Satu buku tentang Jurnalistik (Logika
Bahasa Berita). Dua buku karya pelajar dan mahasiswa yang kami bina di Bengkel Literasi Rakyat Sumbar.
Diantaranya ada mahasiswa Unand di sana.
Selain itu, saat ini saya sedang memproses
sebuah buku kumpulan Cerpen, yang saya tulis dalam bahasa Minang. Mudah-mudahan
selesai proses cetaknya, Juli atau Agustus 2023. Insya Allah nanti akan
serahkan juga untuk menambah koleksi buku di Perpustakaan Unand. Selain itu,
juga ada draf buku tentang perjalanan jurnalistik dan draf buku tentang
komunikasi. Saya berharap doa dari bapak dan ibu semuanya, agar draf tersebut
bisa dicetak secepatnya dan bermanfaat bagi orang banyak, khususnya dunia
pendidikan.
Hanya itu yang dapat saya sampaikan. Jika ada
hal-hal yang tidak pada tempatnya, ada kata yang salah, atau penyampaian yang
tidak tepat, kepada bapak dan ibu semua saya minta maaf, kepada Allah saya
mintak ampun.
CATATAN:
Naskah ini disampaikan saat memberikan sambutan saat ketika Peresmian Ruang Buku Karya Dosen Unand, di Kampus Unand, Jumat 19 Mei 2023