Waerebo
– NTT, Leluhurnya dari Minangkabau:
Sebuah
kampung di tanah Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Namanya, Waerebo. Kampung
kecil, tersuruk, diapit tiga perbukitan
terjal, kini menjelma menjadi salah satu
daerah paling populer di NTT. Namanya mencuat hingga mancanegara. Kendati
begitu, kecintaan dan penghormatannya kepada leluhur, adat dan tradisi tak bisa
ditawar.
Oleh:
Firdaus -- Manggarai, NTT
Waerebo
dulunya berada di Kabupaten Manggarai. Ketika pemekaran, Kabupaten Manggarai menjadi tiga. Kabupaten
Manggarai Barat, Kabupaten Manggarai Timur dan Kabupaten Manggarai Tengah. Waerebo
berada di Kabupaten Manggarai Tengah. Ibukotanya, Ruteng.
Pusat Kampung Waerebo. Memiliki tujuh rumah adat berbentuk kerucut meruncing ke atas. |
Mencapai
Waerebo harus melalui perjalanan panjang dan berliku. Butuh waktu sekitar tiga hingga
empat jam dari Bandara Komodo di Labuanbajo melintasi Lembor – Borik hingga
Dintor. Rute lain, Bandara Komodo di Labuanbajo – Ruteng – hingga Dintor. Dua
rute perjalanan ini, sama parahnya. Jalurnya buruk. Jalannya rusak. Perjalanan
tepat berada di pinggang perbukitan yang langsung berhadapan dengan bibir laut
selatan Flores.
Sesampai
di Dintor yang berada di ketinggian sekitar 2 mdpl, perjalanan dilanjutkan ke
Kampung Denge di ketinggian 500-an mdpl. Jika datang dari arah Borik harus
belok kiri. Jika dari Ruteng, belok ke kanan. Butuh waktu sekitar 45 menit jika
mengendarai mobil agar sampai ke daerah tertinggi yang bisa dicapai kendaraan
bermotor.
“Kita
harus berjalan kaki,” kata Blasius Monta, tokoh masyarakat Waerebo, yang sehari-hari
menjadi guru di SDK Denge, ketika menerima penulis di Denge.
Denge
merupakan kampung terakhir sebelum naik ke Waerebo. Masyarakat Waerebo sudah
ada yang bermukim di Denge, tapi sebagian besar ada di Kampung Kombo. Di tahun 1980-an,
warga Denge menghibahkan tanah, sawah, ladang dan kebun untuk orang Waerebo
yang mau turun. Kawasan yang dihibahkan tersebut kemudian diberi nama Kampung
Kombo.
Butuh
fisik dan stamina prima untuk mencapai Waerebo di ketinggian sekitar 1.270 Mdpl. Perbukitan yang dijelajahi
memiliki kemiringan yang berat. Jika diukur rute yang dilalui, diperkirakan
hanya sekitar 5 KM, tapi butuh waktu hampir empat jam berjalan kaki. Kawasan
tertinggi sebelum sampai di Waerebo mencapai ketinggian sekitar 1.600 mdpl,
lalu harus menuruni lembah perbukitan Goloponto, Golomehe dan Pontonao.
Memasuki
Waerebo ada aturannya. Setiap pengunjung harus membunyikan alat tabuh
yang disediakan di Rumah Kasih Ibu, sebagai penanda datangnya tamu. Setelah
itu, wajib ke rumah adat yang disebut
Rumah Gendang untuk melakukan upacara adat penghormatan kepada leluhur
(Waelu’u).
Pendakian ke Waerebo. Pendakian yang menantang dan melelahkan. |
Setiap
orang baru yang masuk ke kampung tersebut, harus disambut secara adat. Prosesi
penyambutan secara adat hanya boleh dilakukan saat matahari masih ada, atau pada
rentang pukul tujuh pagi hingga enam sore. Jika di luar jadwal tersebut, boleh
saja masuk ke desa adat tersebut, namun tidak akan disambut secara adat. Bagi
yang tidak disambut secara adat, tidak diperkenankan melakukan aktivitas di
kampung tersebut. Mereka harus segera masuk
Rumah Gendang.
Masyarakat
setempat memiliki keyakinan, setiap tamu adalah orang yang wajib dihormati dan dilindungi.
Prosesi penyambutan secara adat adalah wujud nyata menghormati tamu. Inti dari
penyambutan secara adat, meminta kepada leluhurnya agar turut memelihara dan
menjaga tamu tersebut. Jika sudah disambut secara adat, lalu ada masalah pada
tamunya, maka masyarakat setempat wajib membantu
dan menyelamatkan tamu tersebut.
“Jika
ada yang belum diterima secara adat, jika
mereka ada masalah, secara adat kami tidak bisa membantunya,” kata
Blasiun Monta.
Patris (paling kiri), Along (tengah) menerima rombongan dari Minangkabau. Keduanya bersemangat mengisahkan tentang leluhurnya dan komitmen mereka dalam menjaga dan mempertahankan adat dan tradisi. |
Di
pusat kampung Waerebo ada tujuh rumah adat. Setiap rumah adat memiliki fungsi
berbeda. Rumah terbesar atau rumah utama, disebut Rumah Gendang. Rumah adatnya
berbentuk kerucut meruncing ke atas. Di bagian bawahnya berbentuk lingkaran. Ukuran
lingkarannya bergaris tengah 15 meter. Enam rumah lainnya, bergaris tengah 11 sampai 13 meter.
Di
pintu masuk Rumah Gendang ada tanduk kerbau. Rumah Gendang dipergunakan untuk
kegiatan adat. Seluruh acara adat dilaksanakan di sana. Satu rumah digunakan
untuk istirahat dan bermalam para tamu. Rumah ini tanpa kamar. Lima rumah
lainnya dipakai bersama. Ada delapan kamar, dihuni delapan kepala keluarga dari perwakilan
delapan cabang keturunan (semacam suku). Sisanya, masyarakat membuat rumah di sekitar tujuh rumah adat, tapi tidak boleh mendirikan bangunan di depan
Rumah Gendang.
Rumah
adat berbentuk kerucut meruncing ke atas tersebut merupakan rumah kandang.
Terdiri dari lima tingkat. Setiap tingkatan memiliki fungsi berbeda. Tingkatan
pertama dijadikan untuk tempat tinggal dan beraktivitas. Kedua, menyimpan bahan
makanan seperti beras, jagung, sayuran
dan kebutuhan sehari-hari. Tingkat ketiga untuk menyimpan bahan makanan sebagai
stok pangan. Tingkatan berikutnya,
menyimpan bibit tanaman untuk ditanam pada masa tanam. Tingkat kelima,
atau paling tinggi, digunakan untuk menyimpan
benda atau barang-barang keperluan adat yang digunakan pada waktu
tertentu saja, misalnya untuk upacara adat kelahiran, menikah, kematian
atau upacara Penti.
Bagi
masyarakat Waerebo, mendirikan rumah adat adalah bagian yang sangat berat dalam
kehidupan mereka. Atap rumah adat terdiri dari alang-alang dan ijuk.
Kerangkanya dari bambu, rotan pilihan. Menggunakan kayu hutan terbaik, mereka
menyebutnya kayu borok. Merupakan kayu paling keras di tengah hutan belantara.
Pembangunannya tanpa paku.
Persoalan
paling beratnya, kayu hutan yang dipotong tak boleh menyentuh tanah saat
menebangnya. Tak boleh kena tanah saat mengangkatnya, tak boleh terkena tanah
saat memasangnya. Semua prosesnya juga harus dilakukan sambil menyanyi, menari
dan memotong puluhan ternak.
Nenek Moyang
dari Minangkabau
Masyarakat
Waerebo meyakini secara turun temurun, leluhurnya berasal dari Minangkabau.
Terlihat raut antusias masyarakat setempat, ketika rombongan kami
memperkenalkan diri sebagai orang Minangkabau. Mereka langsung memeluk erat
rombongan.
Cerita
turun temurun yang dikisahkan kembali oleh Blasius Monta (53 th), diperkirakan
600 tahun silam, atau tahun 1400-an Masehi,
orang pertama menetap di Waerebo bernama Maro. Ia bersuku bangsa
Minangkabau. Konon ia kehabisan bekal dalam pelayaran di wilayah laut selatan
Flores, lalu melihat ada asap di daratan. Ia kemudian merapat ke daratan dan
menelusuri asal asap yang terlihat.
Asap
itu berasal dari sebuah perkampungan. Namanya Todo. Maro dan saudaranya menetap
di Todo, lalu menikah dengan perempuan setempat. Suatu ketika, terjadi
perselisihan antara Maro dan saudaranya. Maro akhirnya memilih meninggalkan
Todo. Ia berjalan menjauh dari Todo. Hidup berladang dan berburu,
berpindah-pindah.
Ketika
sampai di sebuah lembah tak berpenghuni, ia memutuskan untuk menetap di kawasan
tersebut. Dalam mimpi, ia diperintahkan agar memberikan nama wilayah itu,
Waerebo. Apa arti Waerebo? Tak ada yang tahu. Wae berarti air, dalam bahasa
Manggarai. Tapi Waerebo tak ada arti sama sekali. Setidaknya, sampai hari ini.
Masyarakat setempat tak tahu apa arti dari kata Waerebo tersebut. Orang Waerebo bersuku Modo.
Waktu
berganti, musim berubah. Selama menetap di tempat barunya, Maro tak pernah
dapat gangguan sedikit pun. Usaha pertanian dan perburuannya berbuah hasil
mengembirakan. Hubungan ke Todo tetap terjalin.
Sejak
leluhur pertama orang Waerebo, hingga
kini sudah ada 21 generasi. Generasi
tertua yang masih hidup hingga sekarang, generasi ke 18. Saat ini berusia 99
tahun. Kondisinya sudah sangat lemah.
Blasius
yang generasi ke-19 Waerebo mengisahkan, sebenarnya sampai tahun 1980-an,
kehidupan masyarakat Waerebo dan Todo tetap berlangsung harmonis. Jika ada
kegiatan sosial kemasyarakatan atau pun adat, kedua daerah tersebut saling
membantu. Masyarakat Todo justru menyediakan sebuah kamar di salah satu rumah
adatnya untuk saudara mereka dari Waerebo. Di pusat desa adat Todo, mulanya ada
sembilan rumah adat. Di Waerebo, ada tujuh.
Ketika
rumah adat di Todo lapuk dan hancur, sempat lama tidak diperbaiki, hingga datang seorang pastor. Rumah adat dibangun
kembali, tapi hanya tujuh. Tak dijelaskan
kenapa tujuh rumah adat. Di rumah yang baru dibangun tersebut, tak ada
lagi kamar untuk orang Waerebo.
Tak
terungkap apa agama awal orang Waerebo, tapi orang Waerebo meyakini diri bahwa
mereka baru mengenal agama tahun 1912, ditandai dengan peringatan 100 tahun Gereja
Katolik di sana, tahun 2012. Agama Katolik tersebut dibawa orang Portugis ke
Todo dan selanjutnya masuk ke Waerebo. Tujuh tahun kemudian, baru mereka
mengenal sekolah.
Saat
penelusuran penulis di Waerebo, tak banyak peninggalan yang bisa dihubungkan
dengan adat dan budaya leluhurnya, Minangkabau. Ada pun yang mirip, mungkin
alat musik gendang Waerebo yang mirip Gandang Tasa. Di Minangkabau, Gandang
Tasa menjadi alat musik dan permainan anak-anak nagari di daerah pesisir
pantai. Masyarakat Waerebo memiliki sulaman. Mereka sebutnya Songke. Di Minangkabau,
namanya Songket.
Jejak
Minangkabau justru lebih banyak ditemukan di kampung Todo, desa Todo, Kec
Satarmese Utara, Kab Manggarai Tengah. Segaris lurus dengan kampung Waerebo, di
desa Satarlenda, Kec Satarmese Barat, Kab Manggarai Tengah.
Konon
dikisahkan secara turun temurun, dari mulut ke mulut, seorang berasal dari
Minangkabau, bernama Mashur, memperisteri perempuan di Todo. Pernikahan Mashur
dan perempuan itu melahirkan sejumlah
anak, lalu keturunannya terus tumbuh dan berkembang. Keturunan Mashur dan
isterinya kemudian membentuk kerajaan. Namanya Kerajaan Todo. Mashur dan isterinya
kemudian diyakini sebagai leluhur orang Manggarai sekarang, namun siapa nama
isteri dari Mashur dan dari mana ia berasal, tidak ada literatur yang
menjelaskannya.
Cerita
turun temurun, mulanya rumah adat di perkampungan Todo berbentuk Rumah Gadang,
persis rumah adatnya rang Minangkabau. Diperkirakan tahun 1911, corak Rumah Gadang
berubah menjadi rumah adat sekarang. Bercorak kerucut runcing ke atas, disebut
Mbaru Niang Todo. Ada pun kesamaan yang saat ini bisa dilihat di perkampungan
Todo dengan kebudayaan Minangkabau, di antaranya motif kain tenun atau sulaman,
namanya pun mendekati sama. Orang Minangkabau menyebut Songket. Orang Todo dan
Waerebo menyebut Songke. Kesamaan lain, batu kuburan dan ukiran di rumah adat
dan tiang utama (di Minangkabau disebut Tonggak Tuo).
Selain
itu, di Todo masih disimpan Al-Qur’an kuno. Usianya sudah sangat tua. Al-Qur’an
tersebut ditulis dengan tulisan tangan di atas daun lontar. Tak mudah untuk
melihatnya karena pemeliharaannya diperlakukan secara khusus lantaran sudah
dimakan usia.
“Saya
pernah melihatnya sekali,” kata M. Nur Madilau, salah seorang tokoh masyarakat
kampung Dintor, keturunan Bugis, sembari menyebutkan, ia memperoleh kesempatan
melihatnya ketika ada acara adat di Todo.
Perkembangan
selanjutnya, anak cucu keturunan Mashur dengan isterinya asal Todo tersebut
terus mencari wilayah lain. Mereka kemudian menyebar ke Bajawa dan Ruteng. Di
Bajawa, mereka justru menganut sistem matrilinial. Berbeda di Waerebo dan Todo
yang patrilineal.
Sejauh
ini belum terungkap, apakah kehadiran Maro pertama kali ke Todo dimasa atau
sesudah adanya Kerajaan Todo? Atau, apakah Mashur, sang raja Kerajaan Todo
adalah adik dari Maro yang sama-sama berlayar dan lalu merapat ke daratan
karena kehabisan bekal?
Belum
ada literatur yang bisa menjawabnya. Tidak ada juga penjelasan turun temurun di
masyarakat. Blasius Monta mengatakan, tak pernah ada informasi atau kisah
tentang siapa nama adik dari Mora yang datang bersamanya ke Todo. Tak pernah
pula diketahui apakah ada hubungan Mora dengan Mashur.
Pertahankan Adat
dan Tradisi
Along,
Lucky, dan Patris adalah tiga dari sejumlah anak muda Waerebo yang mengabdikan
dirinya ke kampung halaman. Ketiganya generasi ke-20 Waerebo. Usia mereka belum
35 tahun, namun peran mereka untuk memuaskan keingintahuan orang luar terhadap
adat dan tradisi Waerebo tak bisa dipandang sebelah mata.
Mereka
siap setiap saat untuk Waerebo. Penulis bertemu Along di desa Denge, Selasa
(13/8), sehari sebelum melanjutkan perjalanan ke Waerebo. Ketika itu, ada
keinginan untuk langsung menuju Waerebo, tapi ia menjelaskan butuh waktu tiga
hingga empat jam ke sana. Rencana terpaksa urungkan. Jika dipaksakan juga,
dipastikan sudah kemalaman di jalan, sebab penulis sampai di Denge sudah lewat
pukul lima sore.
Perjalanan
yang penulis tempuh untuk sampai ke Waerebo, sangat panjang. Sehari sebelumnya,
selesai Salat Idul Adha, penulis bertolak dari Padang melalui Bandara
Internasional Minangkabau. Menginap semalam di kawasan Bandara Internasional Soekarno
– Hatta Tanggerang, lalu dari Bandara Soekarno – Hatta ke Bandara Internasional
Juanda Surabaya, langsung ke Bandara Internasional Komodo di Labuanbajo.
Selanjutnya menuju Denge melewati Lembor dan Borik.
Kata
Along, selain melintasi rute yang berat di malam hari, rombongan tidak akan
diterima secara adat. Prosesi penerimaan secara adat hanya bisa dilakukan saat
matahari masih bersinar. Sekitar pukul tujuh pagi hingga enam sore. Jika belum
diterima secara adat, tidak diperkenankan melakukan aktivitas apapun. Artinya,
hanya bisa langsung tidur saja.
Along
menjadi penunjuk jalan. Ia langsung menjadi pemandu. Sesampai di Waerebo,
rombongan diarahkan ke desa adat. Di sana sudah menunggu tetua adat dan
sejumlah masyarakat untuk penyambutan. Along kemudian memperkenalkan Lucky, dan
Patris.
Mereka
memaparkan, penyambutan atau diterima secara adat pada hakikatnya terdiri dari
dua macam. Pertama, penyambutan tamu umum, seperti halnya penyambutan rombongan
wisata. Disambut di depan rumah adat. Tujuannya menghormati leluhur mereka dan
sekaligus berharap kepada leluhur mereka agar rombongan yang datang tetap
dijaga dan dipelihara.
“Permintaan
kami kepada leluhur, tolong jaga tamu yang datang karena mereka keluarga kita.
Pelihara mereka sejak datang hingga kembali ke rumahnya,” kata Patris sembari
menyebutkan, pandangan di kampung adat tersebut hanya satu, menaiki altar di
Compang (pusat kampung) yang berada di depan Rumah Gendang. Bagi masyarakat
Waerebo, altar dipandang sebagai tempat suci karena disana merupakan tempat
acara adat.
Acara
adat dan tradisi bagi masyarakat Waerebo tidak banyak. Ada tiga upacara wajib
bagi setiap individu dan keluarga. Upacara adat kelahiran, perkawinan dan
kematian.
Semua
aktivitas boleh dilakukan di mana saja. Bagi masyarakat yang sudah menetap di
luar kampung Waerebo, ketiga prosesi tersebut boleh dilakukan di mana mereka
tinggal, tapi mereka wajib melakukan upacara adat di kampung Waerebo sebelum
Penti.
Penti
adalah tahun barunya masyarakat Waerebo, tapi jadwalnya tidak tetap. Berkisar
antara Oktober dan November. Kendati tahun baru, tak ada urutan tahunnya. Penti
atau tahun baru bagi masyarakat Waerebo adalah sebuah proses dalam prosesi
mempertahankan kehidupan. Penti merupakan momentum untuk memulai musim tanam.
Leluhur
masyarakat Waerebo memberikan pembelajaran, masa bercocok tanam harus dimulai
ketika bunga-bunga berbagai tanaman muncul. Kehadiran bunga-bunga tanaman itu
sebagai pertanda, waktu tersebutlah paling cocok untuk memulai bertanam.
Pembelajaran
dari para leluhur tersebut dijadikan pegangan masyarakat, sampai kini.
Bunga-bunga tanaman muncul pada Oktober – November. Jika memulai bercocok tanam
di luar jadwal tersebut, diyakini tanaman yang ditanam tidak akan tumbuh.
Upacara
adat kelahiran, perkawinan dan kematian juga harus mengikuti jadwal Penti. Jika
ada kelahiran, perkawinan dan kematian sebelum Penti, maka keluarga
bersangkutan harus melaksanakan upacara adatnya sebelum Penti. Upacara adat
kelahiran, difokuskan dalam bentuk pemberian nama secara adat. Perkawinan,
prosesi adat perkawinan wajib dilakukan di kampung Waerebo, begitu juga upacara
kematian. Khusus upacara kematian, prosesi adatnya membawa batu kuburnya ke
upacara tersebut.
Kegiatan
atau peristiwanya boleh dilakukan di luar Waerebo atau di rantau, namun upacara
adatnya wajib dilakukan di Waerebo. Jika upacara adat tidak dilakukan sebelum
Penti, maka keluarga bersangkutan dipandang tidak layak mengikuti kegiatan adat
Waerebo. Maka mereka tidak berhak mengikuti Penti dan kegiatan adat lainnya. Secara tidak langsung, mereka diasingkan dari
kegiatan adat.
Adat
yang dianut di Waerebo, pada mulanya, tidak boleh menikah sesama orang Waerebo.
Siapa pun yang menikah, harus mencari pasangan di luar Waerebo. Jika dilakukan,
maka akan disanksi secara adat. Tidak diikutsertakan dalam kegiatan adat.
Penulis serius mendengarkan penjelasan Blasius Monta |
Terhitung
sejak generasi ke-18, ada keputusan adat terbaru. Sudah diizinkan sesama orang
Waerebo, namun diikat dengan ketentuan yang sangat ketat. Persilangannya pun
diatur sangat ketat sehingga setiap pasangan diyakini tidak bersentuhan
langsung secara adat dan budaya.
Anak-anak
muda Waerebo, seperti halnya Along, Lucky, dan Patris, serta generasi di
atasnya, satu generasi dengan Blasius Monta, memiliki komitmen untuk tetap
mempertahankan adat dan tradisi mereka.
“Kupertahankan
adat dan tradisi sampai mati...” tekad mereka senada, pada kesempatan terpisah.
Semangat
itu terpatri sejak lama, terutama di awal tahun 2000-an. Ketika itu, rumah adat
mereka sudah mulai keropos dan rusak. Jika dibangun dari swadaya masyarakat,
tidak akan mampu merealisasikannya. Tak hanya mahal dari bahan material, tetapi
juga mahal dari bahan persembahannya. Berbagai upaya dilakukan. Berbagai
presentasi dilakukan, akhirnya pada Mei 2007 dapat bantuan untuk renovasi.
Tahun 2011, dapat bantuan untuk membangun tiga rumah adat. Tahun 2012 dapat
penghargaan dari Unesco, sehingga dapat bantuan untuk renovasi bangunan
lainnya. Renovasi berikutnya terjadi 2013. Akhirnya, tahun 2017, dapat dana
untuk pembangunan.
Kini,
secara fisik, tujuh rumah adat yang ada sudah kembali sempurna. Lingkungannya
juga sempurna. Tapi, masyarakat Waerebo masih memiliki sebuah obsesi. Kata Blasius
Monta, obsesi yang mereka miliki sangat
besar. Mereka memimpinkan, suatu saat bisa berkunjung ke negeri leluhurnya di
Minangkabau, sekaligus mencari tapak jejak kampung sang leluhur.
“Setidaknya
kelak kami bisa mengirim putra-putri terbaik Waerebo kuliah di Padang sambil
melesuri jejak sang leluhur,” katanya sambil menatap jauh ke depan. Tatapannya
menembus perbukitan yang mengelilingi Waerebo, lalu mendarat di negeri
leluhurnya.*
Tulisan ini, pertama kali dimuat di Harian Umum Rakyat Sumbar, Senin 20 Agustus 2019.
2 comments:
persis sama dengan prokabar.com
cuma sudah dipendekkan saja.
Secara umum, mungkin bisa sama karena materinya tentang sejarah dan cerita turun temurun.
Post a Comment