Oleh: Firdaus
Entah kenapa, pada momentum
peringatan Hari Ibu, kali ini, saya teringat pada cerpen karya A.A Navis (alm). Cerpen itu memiliki
setting Malin Kundang, namun bukan bercerita tentang kedurhakaan Malin Kundang
seperti umum dipahami orang selama ini.
Karya yang ditulis A.A Navis pada
tahun 1953, atau tiga tahun sebelum Robohnya
Surau Kami, bercerita tentang kedurhakaan ibu si Malin Kundang. Berikut penggalan
ceritanya;
Malin Kundang di atas kapal. Kembali dari rantau. Gagah dan perkasa. Di
sampingnya istri yang cantik jelita, putri raja. Ketika Malin Kundang hendak
turun ke darat, diiringi oleh istrinya, putri raja, datang berlari ibu yang
renta. Diiringi seorang laki-laki dari kejauhan. "Malin Kundang anakku,
engkau pulang juga akhirnya," kata perempuan renta yang berbaju kumal
bertambal.
"Inikah perempuan yang kau katakan sebagai ibu yang anggun
bijaksana, yang selalu bernyanyi bila sunyi, bersenandung bila murung?"
tanya putri raja pada suaminya.
Malin Kundang tidak bisa berbuat apa-apa. Diremasnya tangannya sendiri
sampai perih. Dia merasa seolah dituduh istrinya telah berdusta. "Apakah
engkau tidak salah lihat, Malin Kundang? Salah tempat berlabuh? Karena aku
tidak melihat tanahmu yang subur makmur, tidak melihat nyiur melambai di tepi
pantai, tidak melihat hutan rimba, suaka alam tempat satwa bersemayam. Aku
hanya melihat tanahmu yang tandus, kering kerontang sahara Afrika," kata
istri Malin Kundang.
"Akulah ibumu, Malin Kundang. Memang beginilah keadaannya
sekarang, setelah banyak orang seberang, yang katanya mau menghangatkan tubuhku
di ranjang. Ketika aku terlena, mereka membabat hutan kita, memindahkan untuk
bangsanya. Ketika aku terjaga, mereka sudah tiada," kata perempuan renta
di bawah tangga.
"Tapi siapa laki-laki itu?" tanya Malin Kundang sambil
menunjuk ke belakang ibunya. "Dia lah lelaki satu-satunya yang tertinggal,
yang rela menemani aku sampai kau tiba membawa harta. Karena aku janjikan bahwa
dia akan mendapat bagian," perempuan itu berkata lirih sekali.
Malin Kundang meradang. Lalu berteriak hingga bumi bergerak.
"Engkau perempuan laknat. Kalau benar kau ibuku, aku kutuk diriku agar
menjadi batu. Biar semua orang tahu, Malin Kundang lahir dari perut yang
keliru."
"Malin Kundang kembali berlayar, menembus badai menantang
halilintar, sampai kapalnya pecah terdampar. Malin Kundang pun menjadi batu.
Sekali-sekali, bila musim berganti, sayup-sayup terdengar suara, yang mengutuk
ibu durhaka, yang menanduskan negeri leluhurnya, sampai setandus jiwanya."
Secara ekstrem, Navis dalam
cerpen Malin Kundang, Ibunya Durhaka, mengirim pesan seakan
menggugat keberadaan seorang ibu. Dia mempertanyakan, apa benar sedemikian tega
seorang ibu mengutuk anaknya sendiri sehingga berubah menjadi batu. Navis malah
menyalahkan sang ibu, dan lebih pantas ibu itu yang dicap durhaka.
Demikian pula Wisran Hadi.
Budayawan besar asal Sumbar yang lahir dan besar di kampung halamannya, tidak setuju dengan sebutan durhaka terhadap
Malin Kundang. Dalam naskah dramanya, Wisran malah membela Malin Kundang dan
menganggap wajar bila dia memarahi sang ibu. Persoalannya, si ibu telah kawin
lagi dengan lelaki lain dan akan menggerogoti kekayaan Malin Kundang.
Kedurhakaan sang ibu yang
disampaikan A.A Navis dan Wisran Hadi adalah dalam bentuk simbol. Dalam konteks
kekinian, kedurhakaan ibu adalah kedurhakaan yang jamak. Kedurhakaan yang
mengalir bagaikan air. Mengalir jauh. Kedurhakaan yang sengaja dipelihara.
Hakikat kedurhakaan tersebut terkait
pada ketidaktaatan ibu berperan sebagai ibu. Peran-peran keibuan hari ini telah
dialihkan para ibu ke bentuk lain, sehingga memaksa anak-anaknya (juga bapak
dari anak-anaknya) berpaling kepada “ibu-ibu“ lain.*
*Judul tulisan ini diambil dari
judul cerpen A.A Navis; Malin Kundang, Ibunya Durhaka.
** Tulisan ini juga dimuat di Harian Pagi Padang Ekspres, edisi Minggu 22 Desember 2013. Juga dimuat pada http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=4282
(email: firda71_padang@yahoo.com)